Rabu, 24 Desember 2008

0

Penanganan Limbah di RSU Mataram Petugas Kurang, Kesadaran Kurang

Inilah salah satu hal yang membuat rumah sakit kelihatan kumuh dan kotor secara kasat mata. Meskipun tong-tong dan keranjang sampah sudah tersedia, tidak serta merta membuat petugas kebersihan rumah sakit mudah untuk menangani persoalan sampah ini. Dibutuhkan kerja ekstra dari petugas kebersihan rumah sakit untuk menanganinya.

Rumah Sakit Umum Mataram sebagai rumah sakit terbesar di NTB, kerap mendapat sorotan dari masyarakat soal kondisi kebersihannya yang masih kurang. Kesan kumuh dan aroma yang kurang sedap menjadi salah satu keluhan, seperti dilontarkan Hanisa yang beberapa waktu lalu menunggui keluarganya yang rawat inap di rumah sakit tersebut. Soal ini, diakui terus terang oleh Made Wijana, Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RSU Mataram, yang ditemui Koran Tokoh.

Secara visual, kondisi RSU Mataram memang masih tampak kurang bersih. Namun, dari hasil pemeriksaan laboratorium kuman udara ruang terutama di ruang tindakan, hasilnya sudah memenuhi persyaratan di bawah baku mutu. Kuman udara ruang di RSU Mataram, dikategorikan aman karena berada di bawah standar.

”Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan dua kali dalam setahun. Dilihat dari hasil tes laboratorium terhadap kuman udara ruang, kesehatan lingkungan RSU Mataram dikategorikan aman,” katanya.
Untuk persoalan ruang yang kotor akibat sampah, tentu saja dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik antara pihak rumah sakit dan pengunjung.

Menurut Made, kondisi layanan kebersihan yang terlihat kurang memadai ini bukan hanya diakibatkan oleh para pengunjung, melainkankan juga kinerja RSU Mataram dalam hal ini yang masih perlu ditingkatkan lagi. Misalnya, kurangnya tenaga kebersihan yang mampu membersihkan rumah sakit berlantai tiga yang beroperasi 24 jam tersebut.

Untuk membersihkan rumah sakit seluas itu, RSU Mataram hanya memiliki 70 tenaga kebersihan yang mengurus ruangan dan juga taman RSU Mataram. ”Idealnya, untuk pelaksanaan kebersihan 24 jam di sini diperlukan 150 tenaga kebersihan,” kata Made. Jadi, tenaga sejumlah tersebut bisa selalu bertugas dengan berganti shif sehingga kebersihan tetap terjaga.

Kondisi kebersihan RSU Mataram yang kerap dikeluhkan pengunjung ini, juga diperparah oleh pengunjung sendiri. Meski sudah dibuat aturan satu pasien satu penunggu, kenyataannya satu pasien bisa lebih dari dua atau tiga penunggunya. Perilaku pengunjung yang sulit untuk diarahkan menjadi tambahan masalah bagi para petugas kebersihan rumah sakit.

Kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya, hingga kini belum sepenuhnya ditaati padahal tong-tong sampah sudah disediakan. Sampah-sampah berupa plastik dan pembalut kerap dibuang di kloset dan saluran-saluran air sehingga menyebabkan kloset dan saluran air tersumbat. Aroma tidak sedap tentu saja akan muncul karena kurang lancarnya pembuangan.

Ditambah lagi, sampah yang kadang dibuang di sembarang tempat. Bisa jadi, kurangnya tenaga kebersihan inilah yang juga menyebabkan tong sampah kadang ditemukan dalam keadaan sudah penuh sehingga sampah sisa makanan dan sebagainya diletakkan begitu saja oleh pengunjung. ”Mau buang sampah di mana lagi, tong sampahnya kadang sudah penuh,” ujar Niah yang menunggui kerabatnya.

Limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit yang setiap harinya dikunjungi oleh ribuan pengunjung ini, menyisakan limbah padat dan limbah cair yang dikelola dengan cara yang berbeda. Limbah padat yang dihasilkan rumah sakit biasanya dikategorikan sebagai limbah infeksius dan noninfeksius.

Limbah infeksius, kata Made, adalah limbah yang ada kaitannya dengan kontak langsung dengan pasien (limbah yang berisiko seperti perban, infus, kateter, dan potongan-potongan sisa operasi). Limbah infeksius ini dikelola secara khusus dalam pemusnahannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Untuk membakar sampah/limbah infeksius ini, menggunakan mesin pembakar khusus bernama incinerator. Limbah noninfeksius merupakan sampah dari sisa makanan misalnya, yang tidak berisiko menularkan penyakit, biasanya dibuang ke tempat pembuangan sampah. ”Pembuangan limbah noninfeksius ini bekerjasama dengan Dinas Kebersihan yang setiap hari mengangkutnya,” kata Made.

Untuk limbah cair dikelola menggunakan WWTP (waste water treatment plan). Semua limbah cair yang berasal dari kloset, wastafel dan sebagainya yang berasal dari ruang tindakan diolah dalam WWTP.

Volume limbah cair RSU Mataram mencapai 150 meter kubik sehari. Sedangkan limbah padat infeksius sejumlah satu meter kubik dan noninfeksius tiga meter kubik sehari. Untuk memudahkan penanganan limbah rumah sakit, pihak RSU Mataram dari awal memisahkan antara limbah infeksius dan noninfeksius.

”Limbah infeksius ditampung menggunakan tas plastik berwarna merah dan noninfeksius ditampung menggunakan warna hitam,” kata Made. Untuk memisahkan dua jenis limbah ini pun, menurut Made, kadang masih mengalami kendala dari kesadaran masyarakat maupun tim medis.

Terkadang, pada kresek berwarna merah terdapat limbah noninfeksius. Hal ini kerap ditemukan oleh tenaga pembakar limbah di mesin incinerator.
”Tidak jarang limbah bercampur,” kata Ahmad, salah seorang petugas pengoperasi incinerator.

Ketidakdisiplinan semacam ini tentu saja berpengaruh terhadap berhasilnya pengelolaan limbah rumah sakit. Mengenai pemisahan tempat sampah berwarna ini sudah berulangkali diberitahukan kegunaannya.

Meski demikian, sampah dari pengunjung atau tim medis masih kerap bercampur. Kurangnya kedisiplinan ini juga menjadi masalah tersendiri bagi tenaga kebersihan rumah sakit.

Di bagian pembakaran memang tidak lagi dipisahkan mana yang infeksius mana yang noninfeksius karena sudah bercampur dan sulit dipisahkan lagi. ”Yang kami tahu, limbah infeksius dan noninfeksius dipisahkan berdasarkan warna tas platik,” ungkap Ahmad yang sudah lebih dari lima tahun menjadi petugas pembakar limbah infeksius di mesin incinerator.

Limbah rumah sakit yang infeksius setiap hari dibakar menggunakan mesin incinerator berkapasitas satu meter kubik per sekali pembakaran. Mengingat limbah ini berisiko maka tidak pernah dibiarkan berada di luar selama berhari-hari. Suhu pembakaran pada mesin pembakar khusus ini maksimal 1.200 derajat.

Pembakaran dilakukan selama 50 menit hingga satu jam. Sisa pembakaran akhir berupa abu saja. Sekali pembakaran mesin ini membutuhkan 20-30 liter minyak tanah. Mesin ini memiliki dua burner, satu untuk membakar benda dan satunya sebagai pembakar asap untuk menghilangkan racun.

Limbah infeksius dari ruang pasien penyakit berbahaya seperti, AIDS, SARS dan Flu Burung langsung dibakar saat itu juga. Petugas ruangan-ruangan khusus tersebut misalnya untuk penyakit Flu Burung, mengantar dan memasukkannya sendiri limbah infeksius tersebut ke dalam incinerator.

”Petugas khusus tersebut memakai APD (Alat Pelindung Diri) mulai dari ruangan hingga memasukkan limbah infeksius dari ruangan penderita Flu Burung,” ujar Ahmad. Demikian pula limbah infeksius dari penderita AIDS. Petugas pembakar tetap diberitahukan bahwa limbah tersebut merupakan limbah yang berasal dari penderita AIDS. Tetapi, tidak diberitahukan berasal dari ruangan mana. —nik

0

DKI PERLU MODERNISASI PENGOLAHAN SAMPAH

JAKARTA - Pengelolaan sampah di Ibu Kota memang mengalami dilema dengan banyaknya penduduk yang mencapai 8,5 juta jiwa. Dengan produksi sampah tiga liter per orang per hari, Ibu Kota menghasilkan 6.000 ton sampah setiap harinya. Untuk itu, perlu dilakukan modernisasi pengolahan sampah dalam aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Demikian dingkapkan Direktur Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan BPPT, Dr Ir Tusy Agustin Adibroto, Kamis (18/8). Dia menimbang perlunya paradigma baru dalam pengelolaan sampah. Sampah sebagai sumber daya. \'Selain itu, sampah dapat dikonversi menjadi energi listrik (waste to energy) melalui produksi metana dan insinerasi,\' ujar Tusy, Kamis (18/8). Program tersebut, lanjut Tusy, berpotensi masuk dalam CDM (program pembangunan bersih). Tusy menambahkan, sampah bukanlah sesuatu yang harus dibuang, melainkan dapat diolah menjadi produk baru. Sampah juga tidak perlu berkonotasi kotor dan bau bila dikelola dengan baik. \'Contohnya inceneration plant di Fukuoka, Jepang, bangunannya seperti museum. Tempat itu juga menjadi sentra ekonomi,\' papar Tusy. Selain mengolah sampah dalam waktu kurang dari 24 jam, tempat tersebut, juga menjadi sarana pendidikan untuk anak sekolah yang ingin belajar tentang pengelolaan sampah dan kebersihan. Produk-produk hasil daur ulang sampah, lanjut dia, juga diperjualbelikan dengan harga mahal. \'Tidak ada lagi konotasi kalau sampah itu bau karena hasilnya dapat dijual dengan harga mahal.\' Pengolahan sampah secara benar, seperti di Fukuoka, tidak akan menimbulkan pencemaran. Tempat pengolahan sampah juga dapat dilengkapi sabuk hijau (green belt) di sekelilingnya yang berfungsi sebagai taman kota. Pengolahan sampah tersebut dapat dilakukan dengan beberapa teknologi. Teknologi refused derived fuel (RDF) mengolah sampah dengan jalan dipanaskan hingga 80 derajat celcius. Sampah itu kemudian dipilah, materi yang tidak dapat dimanfaatkan dihancurkan dan dibentuk briket (bahan bakar power plant). Teknologi lainnya adalah penggunaan incinerator. Dengan teknologi ini, semua sampah dibakar, energinya dimanfaatkan untuk listrik sedangkan arang dan abu sisa pembakaran digunakan sebagai bahan bangunan dan lain-lain. Dalam konsep pengelolaan sampah terpadu, sampah yang jumlahnya 6.000 ton per hari itu dipilah menjadi organik (4080 ton) yang dikomposkan serta an-organik (1920 ton) yang didaur ulang. Sisa proses tersebut (1080 ton) dapat diangkut ke TPA/ sanitary landfill atau diolah dalam incinerator. Dengan incinerator, sampah tersebut dibakar sehingga sisanya tinggal 215 ton (3,6 persen) saja. Sisa pembakaran tersebut dapat digunakan sebagai bahan bangunan atau dikirim ke TPA. Tempat pembuangan akhir (TPA), seperti Bantar Gebang, akan diubah menjadi reusable sanitary landfill. Dengan perubahan itu, TPA hanya akan menampung 10 sampai 20 persen (sekitar 1000 ton) residu sampah. Ke depan, masalah sampah akan coba ditangani dari tingkat terkecil, yaitu rumah tangga. Kepala Dinas Kebersihan DKI, Rama Boedi meminta masyarakat mulai memilah dan mengolah sampah sebelum dibuang. Kemudian, di DKI akan dibangun empat intermediate treatment facility (ITF) sebagai sarana pengelolaan sampah utama. ITF akan menggunakan teknologi ramah lingkungan tanpa meniumbulkan polusi. Dengan demikian, sampah yang diangkut ke TPA tinggal residu. Anggota DPD DKI Jakarta, Sarwono Kusumaatmaja, memandang masyarakat harus mulai berpikir layaknya pemulung. \'Anggaplah sampah itu sebagai faktor produksi untuk dimanfaatkan, sebagai bahan baku\' kata Sarwono. (c40 ) Sumber : Republika (19/8/05) ***

0

Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat

Sampah apabila tidak dikelola dengan baik justru dapat menjadi sumber penyakit yang dapat merugikan masyarakat. Sampah juga dapat menjadi sumber polusi pada air, tanah dan udara. Dalam kondisi yang demikian kita diwajibkan melakukan upaya untuk mengatasinya. Pada dasarnya sampah merupakan suatu bahan yang terbuang dan tidak memiliki nilai ekonomis. Kendati demikian, dalam penanganannya ternyata membutuhkan dana yang besar.

Bali sendiri sebagai daerah pariwisata yang dikunjungi wisatawan mancanegara dituntut selalu bersih dan menjaga kesehatan lingkungan. Justru masalah yang muncul dalam penanganannya adalah masalah biaya operasional yang tinggi dan terbatasnya ruang untuk pembuangannya. Dalam menangani masalah sampah, pemerintah daerah dan kabupaten melalui Dinas DKP membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk pengelolaannya.

Kegiatan pengelolaan sampah yang diterapkan saat ini terbagi dalam tiga tahap yakni pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir. Dengan sistem ini setelah dikaji, pemerintah melakukan pemborosan tenaga dan dana yang tidak sedikit. Dari segi pengumpulan sampah dinilai kurang efisien karena mulai dari sumber sampah sampai ke tempat pembuangan akhir, sampah belum dipilah-pilah. Sehingga, kalau diterapkan teknologi lanjutan berupa komposting maupun daur ulang perlu tenaga untuk pemilahan menurut jenisnya sesuai dengan yang dibutuhkan, dan hal ini akan memerlukan dana maupun menyita waktu.

Pembuangan akhir ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dapat menimbulkan masalah yakni perlu lahan yang besar, sehingga hanya cocok bagi kota yang masih mempunyai banyak lahan yang tidak terpakai. Apalagi kota semakin bertambah jumlah penduduknya, sampah akan menjadi semakin bertambah, baik jumlah maupun jenisnya. Hal ini akan semakin bertambah juga luasan lahan bagi TPA. Apabila instalasi Incinerator yang ada tidak dapat mengimbangi jumlah sampah yang masuk, jumlah timbunannya semakin lama semakin meningkat. Dikhawatirkan akan timbul berbagai masalah sosial dan lingkungan, di antaranya dapat menjadi lahan yang subur bagi pembiakan jenis-jenis bakteri serta bibit penyakit lain, bau tidak sedap yang dapat tercium dari puluhan bahkan ratusan meter dan dapat mengurangi nilai estetika dan keindahan lingkungan.

Pembuangan dengan sistem open dumping dapat menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan. Pada penimbunan dengan sistem anarobic landfill akan timbul leachate di dalam lapisan timbunan dan akan merembes ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Leachate ini sangat merusak dan dapat menimbulkan bau tidak enak, selain itu dapat menjadi tempat pembiakan bibit penyakit seperti lalat, tikus dan lainnya.

Sedangkan pembuangan dengan cara sanitary landfill, walaupun dapat mencegah timbulnya bau, penyakit dan lainnya, tetapi masih memungkinkan muncul masalah lain yakni timbulnya gas yang dapat menyebabkan pencemaran udara. Gas-gas yang mungkin dihasilkan adalah methan, H2S, NH3 dan lainnya. Gas H2S dan NH3 walaupun jumlahnya sedikit, namun dapat menyebabkan bau yang tidak enak sehingga dapat merusak sistem pernapasan tanaman dan membuat tanaman kekurangan gas oksigen dan akhirnya mati.

Penggunaan incinerator dalam pengolahan sampah memiliki beberapa kelemahan, di antaranya dihasilkan abu (15 persen) dan gas yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Selain itu, gas yang dihasilkan dari pembakaran dengan menggunakan alat ini dapat mengandung gas pencemar berupa NOx, SOx dan lain-lain yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Dapat menimbulkan air kotor saat proses pendinginan gas maupun proses pembersihan incinerator dari abu maupun terak. Kualitas air kotor dari instalasi ini menyebabkan COD meningkat dan pH menurun. Memerlukan biaya yang besar dalam menjalankan incinerator. Untuk menangani sampah? 800 ton/hari memerlukan investasi Rp 60 milyar, sedangkan dari hasil penjualan listrik yang dihasilkanhanya Rp 2,24 milyar/tahun. Butuh keahlian tertentu dalam penggunaan alat ini dan penggunaan incinerator ini tidak dapat berdiri sendiri dalam pemusnahan sampah, tetapi masih memerlukan landfill guna membuang sisa pembakaran.

Pembangunan TPA dalam kondisi saat ini kurang relevan lagi, sebab lahan perkotaan semakin sempit dan terjadi pertambahan penduduk terus-menerus yang membutuhkan lahan untuk tempat tinggal.

Berbasis Masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan aspek yang terpenting untuk diperhatikan dalam sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam suatu proses pembangunan terbagi atas empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil-hasil pembangunan dan pengawasan serta monitoring. Masyarakat senantiasa ikut berpartisipasi terhadap proses-proses pembangunan apabila terdapat faktor-faktor yang mendukung, antara lain kebutuhan, harapan, motivasi, sarana dan prasarana, dorongan moral, dan adanya kelembagaan baik informal maupun formal. Model ini akan dapat memangkas rantai transportasi yang panjang dan beban APBD yang berat. Selain itu masyarakat secara bersama diikutsertakan dalam pengelolaan yang akan memancing proses serta hasil yang jauh lebih optimal daripada cara yang diterapkan saat ini.

Sistem manajemen persampahan yang dikembangkan harus merupakan sistem manajemen yang berbasis pada masyarakat yang dimulai dari pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga. Setiap rumah tangga memisahkan sampah mereka ke dalam tiga tempat (tong) sampah. Masing-masing diisi oleh sampah organik, anorganik yang dapat didaur ulang (seperti gelas, plastik, besi, kertas dan sebagainya). Sampah plastik dikumpulkan kemudian dikirim ke industri yang mengolah sampah plastik. Demikian halnya sampah kertas dikumpulkan kemudian dikirim ke industri pengolah kertas. Sedangkan sampah organik disatukan untuk kemudian dikomposkan untuk digunakan sebagai pupuk pertanian. Untuk kotoran ternak dapat dijadikan bahan baku biogas dan kompos. Industri pengolah bahan sampah menjadi bahan baku dibuat pada skala kawasan, bisa terdiri dari satu kecamatan atau beberapa kecamatan. Hal ini untuk memangkas jalur transportasi agar menjadi lebih efisien. Dari bahan baku kemudian dibawa ke industri pengolah yang lebih besar lagi yang dapat menerima bahan baku dari masing-masing kawasan. Di tempat ini bahan baku yang diterima dari masing-masing kawasan diolah menjadi barang yang bernilai ekonomis tinggi.

Teknologi yang digunakan untuk memecahkan permasalahan sampah ini merupakan kombinasi tepat guna yang meliputi teknologi pengomposan, biogas, penanganan plastik, pembuatan kertas daur ulang. Teknologi pengolahan sampah berbasis masyarakat menuju Zero Waste harus merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Dibutuhkan regulasi khusus agar masyarakat dapat secara teratur memisahkan sampahnya dan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat secara persuasif menyadarkan anggota masyarakatnya. Untuk suatu tujuan yang mulia perlu dukungan semua pihak.

Penulis pemerhati lingkungan dan ekologi

0

Pengelolaan Limbah Medis Jauh

Berbahaya, Jika Dibuang ke TPA Terbuka
Sebelum Jadi Abu
BANDUNG, (PR).-
Pengelolaan limbah medis (medical waste) dari
rumah sakit, puskesmas, dan laboratorium di
cekungan Bandung, masih jauh di bawah standar
kesehatan lingkungan karena umumnya dibuang
begitu saja ke tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah dengan sistem open dumping (tempat
sampah terbuka). Padahal, limbah medis
semestinya dibakar menjadi abu di incinerator
(tempat pembakaran) yang bersuhu minimal 1.200
derajat celcius.
Pernyataaan itu
diungkapkan
Kepala Dinas
Lingkungan Hidup
(DLH) Kab.
Bandung
Mulyaningrum,
Rabu (1/12).
"Kalau pun ada
rumah sakit yang
memiliki
incinerator, paling
hanya berfungsi
sebagai pembakar (burner), karena suhunya jauh di
bawah 1.200 derajat celcius. Akhirnya, limbah
yang dibakar pun masih berbentuk seperti arang,
bukan abu," kata Mulyaningrum.
Dijelaskan Mulyaningrum, begitu keluar dari
incinerator, limbah medis itu semestinya sudah
berbentuk abu sehingga tinggal dibuang ke TPA
bahan berbahaya dan beracun (B3) dengan sistem
sanitary landfill (limbah diuruk tanah). "Karena
sudah berbentuk abu, areal TPA pun tidak terlalu
banyak terpakai sehingga umurnya bisa lebih
TEMPAT pembuangan akhir
(TPA) sampah yang kerap
dijadikan tempat pembuangan
limbah medis.*
M. GELORA
SAPTA/"PR"
SUPLEMEN
IKLAN
Page 2
panjang. Selain itu, tidak terlalu memerlukan
banyak tanah untuk menguruknya," katanya.
Dicontohkan Mulyaningrum, buruknya
penanganan limbah medis sempat memakan
korban seperti ada pemulung yang harus
diamputasi kakinya gara-gara tertusuk jarum suntik
di TPA. "Untuk mengatasi itu semua, Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) sedang mengkaji
kemungkinan pembangunan incinerator di Kec.
Cipatat, Kab. Bandung yang dapat menampung
limbah dari seluruh rumah sakit, laboratorium, dan
berbagai fasilitas kesehatan lainnya di cekungan
Bandung," katanya.
Mulyaningrum mengatakan, rencana pemilihan
tempat di Cipatat karena incinerator tidak cocok
dibangun di dalam cekungan yang padat penduduk
seperti Kota Bandung. "Jika dipaksakan,
incinerator di tengah kota bakal mencemari udara
sehingga mengganggu bagi masyarakat di
sekitarnya," katanya.
Bakal selaras
Dijelaskan Mulyaningrum, rencana pembangunan
incinerator di Cipatat bakal lebih selaras jika
dipadukan dengan pendirian TPA limbah B3 di
dekatnya. Setelah limbah rumah sakit dibakar di
incinerator, abunya tinggal dibuang ke TPA
limbah B3 yang berada di dekatnya. Pasalnya,
limbah B3 saat ini masih harus dibuang ke TPA
limbah B3 di Kec. Cileungsi Kab. Bogor sehingga
memakan biaya besar.
Apalagi, Mulayaningrum mengatakan,
pembangunan TPA limbah B3 di Kec. Cipatat
sudah direkomendasikan oleh ITB yang bekerja
sama dengan DLH. "Namun, secara informal, KLH
mengatakan daya serap air di lahan itu tidak sesuai
dengan persyaratan karena hanya 0,0001 m/detik
sedangkan semestinya 0,000001 m/detik. Walau
begitu, kendala tersebut sebenarnya bisa diatasi
dengan rekayasa teknologi seperti menggunakan
dua lapisan sehingga daya serap airnya bisa
menjadi 0,000001 m/detik," katanya.
Pakar lingkungan dari Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Dr.
Setiawan Wangsaatmaja, mengakui, penanganan
limbah medis di cekungan Bandung masih buruk.
Page 3
"Anda bayangkan, kalau tumor atau kanker hasil
operasi dikorek-korek oleh pemulung di TPA, jelas
sangat membahayakan kesehatan manusia,"
katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kab.
Bandung dr. Sukmahadi Thawaf mengakui rumah
sakit lama umumnya belum memiliki fasilitas
pengolahan limbah sesuai standar kesehatan
lingkungan. Walau begitu, berbagai fasilitas itu
akan terus dilengkapi secara bertahap. Namun,
untuk rumah sakit baru atau yang akan didirikan,
berbagai fasilitas pengolahan limbah sesuai standar
tersebut harus sudah dimiliki.
Sukmahadi mengatakan, rumah sakit lama belum
memiliki fasilitas yang memadai karena standar
kesehatan lingkungan pada masa lalu tidak seketat
sekarang. "Karena itu, kami sangat mendukung
upaya pengolektifan penanganan limbah medis
seperti yang direncanakan di Cipatat," katanya.(A-
129)**

0

Pelayanan Medik

Sepuluh incinerator belum memiliki alat uji emisi�. Sebanyak sepuluh incinerator yang ada di Jakarta Timur belum memiliki alat pemeriksa uji emisi buang hasil pembakaran limbahnya. Dua incinerator bahkan berada di Puskesmas. Staf Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja Sudin Kesmas Jakarta Timur, Utomo mengatakan pembakaran limbah B3 jika didalamnya mengandung plastic akan menghasilkan zat dioksin yang bisa menyebabkan kanker bila dihirup oleh manusia. Sementara Nurmaeni, Staf Bagian Pengendalian Pencemaran BPLHD DKI mengatakan bahwa sebagian besar incinerator yang beroperasi di seluruh rumah sakit di Jakarta tidak mempunyai alat berupa lubang pengukur emisi buang. Termasuk yang tidak memenuhi syarat yaitu incinerator RS Dharmais dan RSPI Sulianti Saroso. Incenerator hanya membakar bahan infeksius begitu saja dan tidak diketahui apakah emisi buangnya mencemari udara disekitar atau tidak. (Hr. Republika 22/3/06)

0

Polemik incinerator

Polemik tentang pengelolaan sampah Kota Bandung dengan menggunakan incineraor antara LSM, warga dan para pemerhati lingkungan, dengan pemerintah kota masih berlangsung. Masing-masing masih betahan dengan pendapatnya masing2. Sampahnya? ya masih dikelola dengan cara lama...di kirim ke TPA.

Memang secara teknis pembakaran sampah dengan incinerator akan menghasilkan bahan kimia berbahaya yaitu dioksin. Namun, studi kelayakan mestinya tetap mesti dijalankan, agar semuanya menjadi jelas untung ruginya.

Mereka yang menentang mestinya sih punya juga tuh solusi alternatifnya. Nggak cuma nentang atau nuduh pemerintah belum melakukan amdal.

Lebih baik lakukan dulu amdal+studi kelayakannya oleh yang ahli, dan semua pihak ikut memonitor prosesnya..kan beres.

Mau sampai kapan atuh...mesti inget juga saban hari sampahnya nambah...

0

"Incinerator" Mini, Jangan Jadi Hiasan

DI tengah tidak berfungsinya incinerator (mesin pembakar sampah) yang dibangun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Keputih, Sukolilo, Dinas Kebersihan Kota Surabaya justru melakukan uji coba dua unit incinerator mini di dua Tempat Penampungan Sementara (TPS) Bratang dan Legundi. Pemakaian mesin pembakar sampah mini sangat mendesak karena TPA Keputih harus ditutup paling lambat akhir tahun.

Mesin buatan luar negeri itu, kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kebersihan, Kusno Wiharjo, sangat tepat untuk mengolah sampah di Surabaya, yang rata-rata produksinya mencapai 9.000 meter kubik per hari. "Sulitnya mendapatkan tanah untuk lahan pembuangan akhir, tidak ada pilihan lain kecuali mengolah sampah di TPS," katanya.

Mesin tersebut akan dibeli sebanyak 223 unit dengan harga masing-masing Rp 50 juta per unit dengan kemampuan olah antara 20-25 meter kubik per hari. Maka, total anggarannya sekitar Rp 11,1 milyar.

Padahal, mesin pembakar sampah yang sudah dibeli tahun 1989 lalu dengan harga Rp 33 milyar, sudah dua tahun ini tidak beroperasi. Kemampuan mesin ini juga berbeda jauh dengan apa yang dipromosikan perusahaan pengimpor karena daya olahnya hanya 200 ton per hari, padahal seharusnya mencapai 1.700 ton.

"Sebelum dibeli, dua mesin pembakar sampah mini itu sudah diuji coba di TPS Bratang dan Legundi. Kedua TPS ini dipilih karena sampahnya dari pasar, rumah makan, dan rumah tangga. Harus jelas apa sampah campuran dan kondisinya sangat basah itu bisa dikelola," ujar Kusno. Jika, mesin tersebut mampu mengolah sampah campuran dan basah, kemungkinan Pemerintah Kota akan membelinya meski mahal harganya.

***

SEBENARNYA apa pun upaya yang ditempuh Dinas Kebersihan itu sah-sah saja. Cuma saja kinerja instansi ini terus disorot berbagai kalangan karena tidak transparan. Seharusnya semua proposal penawaran menyangkut pengolahan sampah ditanggapi dan disampaikan kepada DPRD untuk minta persetujuan. "Pokoknya proyek pengadaan barang dan jasa di atas Rp 50 juta harus lewat tender terbuka dan diumumkan di media massa," kata Sudirdjo, anggota Komisi D DPRD.

Bahkan, kata Sudirdjo, penunjukan langsung untuk penggarapan satu proyek atau pengadaan barang, tetap harus diumumkan. Transparansi itu perlu untuk mengukur kualitas serta profesionalisme perusahaan yang ditunjuk, jadi bukan ditunjuk berdasarkan selera pimpinan di instansi tersebut," ujarnya.

Dengan demikian masyarakat tahu persis nilai proyek yang digarap, dan jika kenyataannya tidak sesuai spesifikasi, masyarakat bisa menggugat atau protes, baik langsung maupun lewat DPRD. Sehingga keberadaan mesin itu tidak cuma menjadi hiasan di tengah tumpukan sampah seperti yang menimpa mesin pembakar sampah seharga Rp 33 milyar di TPA Keputih saat ini. (eta)