Rabu, 24 Desember 2008

0

Penanganan Limbah di RSU Mataram Petugas Kurang, Kesadaran Kurang

Inilah salah satu hal yang membuat rumah sakit kelihatan kumuh dan kotor secara kasat mata. Meskipun tong-tong dan keranjang sampah sudah tersedia, tidak serta merta membuat petugas kebersihan rumah sakit mudah untuk menangani persoalan sampah ini. Dibutuhkan kerja ekstra dari petugas kebersihan rumah sakit untuk menanganinya.

Rumah Sakit Umum Mataram sebagai rumah sakit terbesar di NTB, kerap mendapat sorotan dari masyarakat soal kondisi kebersihannya yang masih kurang. Kesan kumuh dan aroma yang kurang sedap menjadi salah satu keluhan, seperti dilontarkan Hanisa yang beberapa waktu lalu menunggui keluarganya yang rawat inap di rumah sakit tersebut. Soal ini, diakui terus terang oleh Made Wijana, Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RSU Mataram, yang ditemui Koran Tokoh.

Secara visual, kondisi RSU Mataram memang masih tampak kurang bersih. Namun, dari hasil pemeriksaan laboratorium kuman udara ruang terutama di ruang tindakan, hasilnya sudah memenuhi persyaratan di bawah baku mutu. Kuman udara ruang di RSU Mataram, dikategorikan aman karena berada di bawah standar.

”Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan dua kali dalam setahun. Dilihat dari hasil tes laboratorium terhadap kuman udara ruang, kesehatan lingkungan RSU Mataram dikategorikan aman,” katanya.
Untuk persoalan ruang yang kotor akibat sampah, tentu saja dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik antara pihak rumah sakit dan pengunjung.

Menurut Made, kondisi layanan kebersihan yang terlihat kurang memadai ini bukan hanya diakibatkan oleh para pengunjung, melainkankan juga kinerja RSU Mataram dalam hal ini yang masih perlu ditingkatkan lagi. Misalnya, kurangnya tenaga kebersihan yang mampu membersihkan rumah sakit berlantai tiga yang beroperasi 24 jam tersebut.

Untuk membersihkan rumah sakit seluas itu, RSU Mataram hanya memiliki 70 tenaga kebersihan yang mengurus ruangan dan juga taman RSU Mataram. ”Idealnya, untuk pelaksanaan kebersihan 24 jam di sini diperlukan 150 tenaga kebersihan,” kata Made. Jadi, tenaga sejumlah tersebut bisa selalu bertugas dengan berganti shif sehingga kebersihan tetap terjaga.

Kondisi kebersihan RSU Mataram yang kerap dikeluhkan pengunjung ini, juga diperparah oleh pengunjung sendiri. Meski sudah dibuat aturan satu pasien satu penunggu, kenyataannya satu pasien bisa lebih dari dua atau tiga penunggunya. Perilaku pengunjung yang sulit untuk diarahkan menjadi tambahan masalah bagi para petugas kebersihan rumah sakit.

Kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya, hingga kini belum sepenuhnya ditaati padahal tong-tong sampah sudah disediakan. Sampah-sampah berupa plastik dan pembalut kerap dibuang di kloset dan saluran-saluran air sehingga menyebabkan kloset dan saluran air tersumbat. Aroma tidak sedap tentu saja akan muncul karena kurang lancarnya pembuangan.

Ditambah lagi, sampah yang kadang dibuang di sembarang tempat. Bisa jadi, kurangnya tenaga kebersihan inilah yang juga menyebabkan tong sampah kadang ditemukan dalam keadaan sudah penuh sehingga sampah sisa makanan dan sebagainya diletakkan begitu saja oleh pengunjung. ”Mau buang sampah di mana lagi, tong sampahnya kadang sudah penuh,” ujar Niah yang menunggui kerabatnya.

Limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit yang setiap harinya dikunjungi oleh ribuan pengunjung ini, menyisakan limbah padat dan limbah cair yang dikelola dengan cara yang berbeda. Limbah padat yang dihasilkan rumah sakit biasanya dikategorikan sebagai limbah infeksius dan noninfeksius.

Limbah infeksius, kata Made, adalah limbah yang ada kaitannya dengan kontak langsung dengan pasien (limbah yang berisiko seperti perban, infus, kateter, dan potongan-potongan sisa operasi). Limbah infeksius ini dikelola secara khusus dalam pemusnahannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Untuk membakar sampah/limbah infeksius ini, menggunakan mesin pembakar khusus bernama incinerator. Limbah noninfeksius merupakan sampah dari sisa makanan misalnya, yang tidak berisiko menularkan penyakit, biasanya dibuang ke tempat pembuangan sampah. ”Pembuangan limbah noninfeksius ini bekerjasama dengan Dinas Kebersihan yang setiap hari mengangkutnya,” kata Made.

Untuk limbah cair dikelola menggunakan WWTP (waste water treatment plan). Semua limbah cair yang berasal dari kloset, wastafel dan sebagainya yang berasal dari ruang tindakan diolah dalam WWTP.

Volume limbah cair RSU Mataram mencapai 150 meter kubik sehari. Sedangkan limbah padat infeksius sejumlah satu meter kubik dan noninfeksius tiga meter kubik sehari. Untuk memudahkan penanganan limbah rumah sakit, pihak RSU Mataram dari awal memisahkan antara limbah infeksius dan noninfeksius.

”Limbah infeksius ditampung menggunakan tas plastik berwarna merah dan noninfeksius ditampung menggunakan warna hitam,” kata Made. Untuk memisahkan dua jenis limbah ini pun, menurut Made, kadang masih mengalami kendala dari kesadaran masyarakat maupun tim medis.

Terkadang, pada kresek berwarna merah terdapat limbah noninfeksius. Hal ini kerap ditemukan oleh tenaga pembakar limbah di mesin incinerator.
”Tidak jarang limbah bercampur,” kata Ahmad, salah seorang petugas pengoperasi incinerator.

Ketidakdisiplinan semacam ini tentu saja berpengaruh terhadap berhasilnya pengelolaan limbah rumah sakit. Mengenai pemisahan tempat sampah berwarna ini sudah berulangkali diberitahukan kegunaannya.

Meski demikian, sampah dari pengunjung atau tim medis masih kerap bercampur. Kurangnya kedisiplinan ini juga menjadi masalah tersendiri bagi tenaga kebersihan rumah sakit.

Di bagian pembakaran memang tidak lagi dipisahkan mana yang infeksius mana yang noninfeksius karena sudah bercampur dan sulit dipisahkan lagi. ”Yang kami tahu, limbah infeksius dan noninfeksius dipisahkan berdasarkan warna tas platik,” ungkap Ahmad yang sudah lebih dari lima tahun menjadi petugas pembakar limbah infeksius di mesin incinerator.

Limbah rumah sakit yang infeksius setiap hari dibakar menggunakan mesin incinerator berkapasitas satu meter kubik per sekali pembakaran. Mengingat limbah ini berisiko maka tidak pernah dibiarkan berada di luar selama berhari-hari. Suhu pembakaran pada mesin pembakar khusus ini maksimal 1.200 derajat.

Pembakaran dilakukan selama 50 menit hingga satu jam. Sisa pembakaran akhir berupa abu saja. Sekali pembakaran mesin ini membutuhkan 20-30 liter minyak tanah. Mesin ini memiliki dua burner, satu untuk membakar benda dan satunya sebagai pembakar asap untuk menghilangkan racun.

Limbah infeksius dari ruang pasien penyakit berbahaya seperti, AIDS, SARS dan Flu Burung langsung dibakar saat itu juga. Petugas ruangan-ruangan khusus tersebut misalnya untuk penyakit Flu Burung, mengantar dan memasukkannya sendiri limbah infeksius tersebut ke dalam incinerator.

”Petugas khusus tersebut memakai APD (Alat Pelindung Diri) mulai dari ruangan hingga memasukkan limbah infeksius dari ruangan penderita Flu Burung,” ujar Ahmad. Demikian pula limbah infeksius dari penderita AIDS. Petugas pembakar tetap diberitahukan bahwa limbah tersebut merupakan limbah yang berasal dari penderita AIDS. Tetapi, tidak diberitahukan berasal dari ruangan mana. —nik

0

DKI PERLU MODERNISASI PENGOLAHAN SAMPAH

JAKARTA - Pengelolaan sampah di Ibu Kota memang mengalami dilema dengan banyaknya penduduk yang mencapai 8,5 juta jiwa. Dengan produksi sampah tiga liter per orang per hari, Ibu Kota menghasilkan 6.000 ton sampah setiap harinya. Untuk itu, perlu dilakukan modernisasi pengolahan sampah dalam aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Demikian dingkapkan Direktur Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan BPPT, Dr Ir Tusy Agustin Adibroto, Kamis (18/8). Dia menimbang perlunya paradigma baru dalam pengelolaan sampah. Sampah sebagai sumber daya. \'Selain itu, sampah dapat dikonversi menjadi energi listrik (waste to energy) melalui produksi metana dan insinerasi,\' ujar Tusy, Kamis (18/8). Program tersebut, lanjut Tusy, berpotensi masuk dalam CDM (program pembangunan bersih). Tusy menambahkan, sampah bukanlah sesuatu yang harus dibuang, melainkan dapat diolah menjadi produk baru. Sampah juga tidak perlu berkonotasi kotor dan bau bila dikelola dengan baik. \'Contohnya inceneration plant di Fukuoka, Jepang, bangunannya seperti museum. Tempat itu juga menjadi sentra ekonomi,\' papar Tusy. Selain mengolah sampah dalam waktu kurang dari 24 jam, tempat tersebut, juga menjadi sarana pendidikan untuk anak sekolah yang ingin belajar tentang pengelolaan sampah dan kebersihan. Produk-produk hasil daur ulang sampah, lanjut dia, juga diperjualbelikan dengan harga mahal. \'Tidak ada lagi konotasi kalau sampah itu bau karena hasilnya dapat dijual dengan harga mahal.\' Pengolahan sampah secara benar, seperti di Fukuoka, tidak akan menimbulkan pencemaran. Tempat pengolahan sampah juga dapat dilengkapi sabuk hijau (green belt) di sekelilingnya yang berfungsi sebagai taman kota. Pengolahan sampah tersebut dapat dilakukan dengan beberapa teknologi. Teknologi refused derived fuel (RDF) mengolah sampah dengan jalan dipanaskan hingga 80 derajat celcius. Sampah itu kemudian dipilah, materi yang tidak dapat dimanfaatkan dihancurkan dan dibentuk briket (bahan bakar power plant). Teknologi lainnya adalah penggunaan incinerator. Dengan teknologi ini, semua sampah dibakar, energinya dimanfaatkan untuk listrik sedangkan arang dan abu sisa pembakaran digunakan sebagai bahan bangunan dan lain-lain. Dalam konsep pengelolaan sampah terpadu, sampah yang jumlahnya 6.000 ton per hari itu dipilah menjadi organik (4080 ton) yang dikomposkan serta an-organik (1920 ton) yang didaur ulang. Sisa proses tersebut (1080 ton) dapat diangkut ke TPA/ sanitary landfill atau diolah dalam incinerator. Dengan incinerator, sampah tersebut dibakar sehingga sisanya tinggal 215 ton (3,6 persen) saja. Sisa pembakaran tersebut dapat digunakan sebagai bahan bangunan atau dikirim ke TPA. Tempat pembuangan akhir (TPA), seperti Bantar Gebang, akan diubah menjadi reusable sanitary landfill. Dengan perubahan itu, TPA hanya akan menampung 10 sampai 20 persen (sekitar 1000 ton) residu sampah. Ke depan, masalah sampah akan coba ditangani dari tingkat terkecil, yaitu rumah tangga. Kepala Dinas Kebersihan DKI, Rama Boedi meminta masyarakat mulai memilah dan mengolah sampah sebelum dibuang. Kemudian, di DKI akan dibangun empat intermediate treatment facility (ITF) sebagai sarana pengelolaan sampah utama. ITF akan menggunakan teknologi ramah lingkungan tanpa meniumbulkan polusi. Dengan demikian, sampah yang diangkut ke TPA tinggal residu. Anggota DPD DKI Jakarta, Sarwono Kusumaatmaja, memandang masyarakat harus mulai berpikir layaknya pemulung. \'Anggaplah sampah itu sebagai faktor produksi untuk dimanfaatkan, sebagai bahan baku\' kata Sarwono. (c40 ) Sumber : Republika (19/8/05) ***

0

Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat

Sampah apabila tidak dikelola dengan baik justru dapat menjadi sumber penyakit yang dapat merugikan masyarakat. Sampah juga dapat menjadi sumber polusi pada air, tanah dan udara. Dalam kondisi yang demikian kita diwajibkan melakukan upaya untuk mengatasinya. Pada dasarnya sampah merupakan suatu bahan yang terbuang dan tidak memiliki nilai ekonomis. Kendati demikian, dalam penanganannya ternyata membutuhkan dana yang besar.

Bali sendiri sebagai daerah pariwisata yang dikunjungi wisatawan mancanegara dituntut selalu bersih dan menjaga kesehatan lingkungan. Justru masalah yang muncul dalam penanganannya adalah masalah biaya operasional yang tinggi dan terbatasnya ruang untuk pembuangannya. Dalam menangani masalah sampah, pemerintah daerah dan kabupaten melalui Dinas DKP membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk pengelolaannya.

Kegiatan pengelolaan sampah yang diterapkan saat ini terbagi dalam tiga tahap yakni pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir. Dengan sistem ini setelah dikaji, pemerintah melakukan pemborosan tenaga dan dana yang tidak sedikit. Dari segi pengumpulan sampah dinilai kurang efisien karena mulai dari sumber sampah sampai ke tempat pembuangan akhir, sampah belum dipilah-pilah. Sehingga, kalau diterapkan teknologi lanjutan berupa komposting maupun daur ulang perlu tenaga untuk pemilahan menurut jenisnya sesuai dengan yang dibutuhkan, dan hal ini akan memerlukan dana maupun menyita waktu.

Pembuangan akhir ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dapat menimbulkan masalah yakni perlu lahan yang besar, sehingga hanya cocok bagi kota yang masih mempunyai banyak lahan yang tidak terpakai. Apalagi kota semakin bertambah jumlah penduduknya, sampah akan menjadi semakin bertambah, baik jumlah maupun jenisnya. Hal ini akan semakin bertambah juga luasan lahan bagi TPA. Apabila instalasi Incinerator yang ada tidak dapat mengimbangi jumlah sampah yang masuk, jumlah timbunannya semakin lama semakin meningkat. Dikhawatirkan akan timbul berbagai masalah sosial dan lingkungan, di antaranya dapat menjadi lahan yang subur bagi pembiakan jenis-jenis bakteri serta bibit penyakit lain, bau tidak sedap yang dapat tercium dari puluhan bahkan ratusan meter dan dapat mengurangi nilai estetika dan keindahan lingkungan.

Pembuangan dengan sistem open dumping dapat menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan. Pada penimbunan dengan sistem anarobic landfill akan timbul leachate di dalam lapisan timbunan dan akan merembes ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Leachate ini sangat merusak dan dapat menimbulkan bau tidak enak, selain itu dapat menjadi tempat pembiakan bibit penyakit seperti lalat, tikus dan lainnya.

Sedangkan pembuangan dengan cara sanitary landfill, walaupun dapat mencegah timbulnya bau, penyakit dan lainnya, tetapi masih memungkinkan muncul masalah lain yakni timbulnya gas yang dapat menyebabkan pencemaran udara. Gas-gas yang mungkin dihasilkan adalah methan, H2S, NH3 dan lainnya. Gas H2S dan NH3 walaupun jumlahnya sedikit, namun dapat menyebabkan bau yang tidak enak sehingga dapat merusak sistem pernapasan tanaman dan membuat tanaman kekurangan gas oksigen dan akhirnya mati.

Penggunaan incinerator dalam pengolahan sampah memiliki beberapa kelemahan, di antaranya dihasilkan abu (15 persen) dan gas yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Selain itu, gas yang dihasilkan dari pembakaran dengan menggunakan alat ini dapat mengandung gas pencemar berupa NOx, SOx dan lain-lain yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Dapat menimbulkan air kotor saat proses pendinginan gas maupun proses pembersihan incinerator dari abu maupun terak. Kualitas air kotor dari instalasi ini menyebabkan COD meningkat dan pH menurun. Memerlukan biaya yang besar dalam menjalankan incinerator. Untuk menangani sampah? 800 ton/hari memerlukan investasi Rp 60 milyar, sedangkan dari hasil penjualan listrik yang dihasilkanhanya Rp 2,24 milyar/tahun. Butuh keahlian tertentu dalam penggunaan alat ini dan penggunaan incinerator ini tidak dapat berdiri sendiri dalam pemusnahan sampah, tetapi masih memerlukan landfill guna membuang sisa pembakaran.

Pembangunan TPA dalam kondisi saat ini kurang relevan lagi, sebab lahan perkotaan semakin sempit dan terjadi pertambahan penduduk terus-menerus yang membutuhkan lahan untuk tempat tinggal.

Berbasis Masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan aspek yang terpenting untuk diperhatikan dalam sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam suatu proses pembangunan terbagi atas empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil-hasil pembangunan dan pengawasan serta monitoring. Masyarakat senantiasa ikut berpartisipasi terhadap proses-proses pembangunan apabila terdapat faktor-faktor yang mendukung, antara lain kebutuhan, harapan, motivasi, sarana dan prasarana, dorongan moral, dan adanya kelembagaan baik informal maupun formal. Model ini akan dapat memangkas rantai transportasi yang panjang dan beban APBD yang berat. Selain itu masyarakat secara bersama diikutsertakan dalam pengelolaan yang akan memancing proses serta hasil yang jauh lebih optimal daripada cara yang diterapkan saat ini.

Sistem manajemen persampahan yang dikembangkan harus merupakan sistem manajemen yang berbasis pada masyarakat yang dimulai dari pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga. Setiap rumah tangga memisahkan sampah mereka ke dalam tiga tempat (tong) sampah. Masing-masing diisi oleh sampah organik, anorganik yang dapat didaur ulang (seperti gelas, plastik, besi, kertas dan sebagainya). Sampah plastik dikumpulkan kemudian dikirim ke industri yang mengolah sampah plastik. Demikian halnya sampah kertas dikumpulkan kemudian dikirim ke industri pengolah kertas. Sedangkan sampah organik disatukan untuk kemudian dikomposkan untuk digunakan sebagai pupuk pertanian. Untuk kotoran ternak dapat dijadikan bahan baku biogas dan kompos. Industri pengolah bahan sampah menjadi bahan baku dibuat pada skala kawasan, bisa terdiri dari satu kecamatan atau beberapa kecamatan. Hal ini untuk memangkas jalur transportasi agar menjadi lebih efisien. Dari bahan baku kemudian dibawa ke industri pengolah yang lebih besar lagi yang dapat menerima bahan baku dari masing-masing kawasan. Di tempat ini bahan baku yang diterima dari masing-masing kawasan diolah menjadi barang yang bernilai ekonomis tinggi.

Teknologi yang digunakan untuk memecahkan permasalahan sampah ini merupakan kombinasi tepat guna yang meliputi teknologi pengomposan, biogas, penanganan plastik, pembuatan kertas daur ulang. Teknologi pengolahan sampah berbasis masyarakat menuju Zero Waste harus merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Dibutuhkan regulasi khusus agar masyarakat dapat secara teratur memisahkan sampahnya dan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat secara persuasif menyadarkan anggota masyarakatnya. Untuk suatu tujuan yang mulia perlu dukungan semua pihak.

Penulis pemerhati lingkungan dan ekologi

0

Pengelolaan Limbah Medis Jauh

Berbahaya, Jika Dibuang ke TPA Terbuka
Sebelum Jadi Abu
BANDUNG, (PR).-
Pengelolaan limbah medis (medical waste) dari
rumah sakit, puskesmas, dan laboratorium di
cekungan Bandung, masih jauh di bawah standar
kesehatan lingkungan karena umumnya dibuang
begitu saja ke tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah dengan sistem open dumping (tempat
sampah terbuka). Padahal, limbah medis
semestinya dibakar menjadi abu di incinerator
(tempat pembakaran) yang bersuhu minimal 1.200
derajat celcius.
Pernyataaan itu
diungkapkan
Kepala Dinas
Lingkungan Hidup
(DLH) Kab.
Bandung
Mulyaningrum,
Rabu (1/12).
"Kalau pun ada
rumah sakit yang
memiliki
incinerator, paling
hanya berfungsi
sebagai pembakar (burner), karena suhunya jauh di
bawah 1.200 derajat celcius. Akhirnya, limbah
yang dibakar pun masih berbentuk seperti arang,
bukan abu," kata Mulyaningrum.
Dijelaskan Mulyaningrum, begitu keluar dari
incinerator, limbah medis itu semestinya sudah
berbentuk abu sehingga tinggal dibuang ke TPA
bahan berbahaya dan beracun (B3) dengan sistem
sanitary landfill (limbah diuruk tanah). "Karena
sudah berbentuk abu, areal TPA pun tidak terlalu
banyak terpakai sehingga umurnya bisa lebih
TEMPAT pembuangan akhir
(TPA) sampah yang kerap
dijadikan tempat pembuangan
limbah medis.*
M. GELORA
SAPTA/"PR"
SUPLEMEN
IKLAN
Page 2
panjang. Selain itu, tidak terlalu memerlukan
banyak tanah untuk menguruknya," katanya.
Dicontohkan Mulyaningrum, buruknya
penanganan limbah medis sempat memakan
korban seperti ada pemulung yang harus
diamputasi kakinya gara-gara tertusuk jarum suntik
di TPA. "Untuk mengatasi itu semua, Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) sedang mengkaji
kemungkinan pembangunan incinerator di Kec.
Cipatat, Kab. Bandung yang dapat menampung
limbah dari seluruh rumah sakit, laboratorium, dan
berbagai fasilitas kesehatan lainnya di cekungan
Bandung," katanya.
Mulyaningrum mengatakan, rencana pemilihan
tempat di Cipatat karena incinerator tidak cocok
dibangun di dalam cekungan yang padat penduduk
seperti Kota Bandung. "Jika dipaksakan,
incinerator di tengah kota bakal mencemari udara
sehingga mengganggu bagi masyarakat di
sekitarnya," katanya.
Bakal selaras
Dijelaskan Mulyaningrum, rencana pembangunan
incinerator di Cipatat bakal lebih selaras jika
dipadukan dengan pendirian TPA limbah B3 di
dekatnya. Setelah limbah rumah sakit dibakar di
incinerator, abunya tinggal dibuang ke TPA
limbah B3 yang berada di dekatnya. Pasalnya,
limbah B3 saat ini masih harus dibuang ke TPA
limbah B3 di Kec. Cileungsi Kab. Bogor sehingga
memakan biaya besar.
Apalagi, Mulayaningrum mengatakan,
pembangunan TPA limbah B3 di Kec. Cipatat
sudah direkomendasikan oleh ITB yang bekerja
sama dengan DLH. "Namun, secara informal, KLH
mengatakan daya serap air di lahan itu tidak sesuai
dengan persyaratan karena hanya 0,0001 m/detik
sedangkan semestinya 0,000001 m/detik. Walau
begitu, kendala tersebut sebenarnya bisa diatasi
dengan rekayasa teknologi seperti menggunakan
dua lapisan sehingga daya serap airnya bisa
menjadi 0,000001 m/detik," katanya.
Pakar lingkungan dari Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Dr.
Setiawan Wangsaatmaja, mengakui, penanganan
limbah medis di cekungan Bandung masih buruk.
Page 3
"Anda bayangkan, kalau tumor atau kanker hasil
operasi dikorek-korek oleh pemulung di TPA, jelas
sangat membahayakan kesehatan manusia,"
katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kab.
Bandung dr. Sukmahadi Thawaf mengakui rumah
sakit lama umumnya belum memiliki fasilitas
pengolahan limbah sesuai standar kesehatan
lingkungan. Walau begitu, berbagai fasilitas itu
akan terus dilengkapi secara bertahap. Namun,
untuk rumah sakit baru atau yang akan didirikan,
berbagai fasilitas pengolahan limbah sesuai standar
tersebut harus sudah dimiliki.
Sukmahadi mengatakan, rumah sakit lama belum
memiliki fasilitas yang memadai karena standar
kesehatan lingkungan pada masa lalu tidak seketat
sekarang. "Karena itu, kami sangat mendukung
upaya pengolektifan penanganan limbah medis
seperti yang direncanakan di Cipatat," katanya.(A-
129)**

0

Pelayanan Medik

Sepuluh incinerator belum memiliki alat uji emisi�. Sebanyak sepuluh incinerator yang ada di Jakarta Timur belum memiliki alat pemeriksa uji emisi buang hasil pembakaran limbahnya. Dua incinerator bahkan berada di Puskesmas. Staf Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja Sudin Kesmas Jakarta Timur, Utomo mengatakan pembakaran limbah B3 jika didalamnya mengandung plastic akan menghasilkan zat dioksin yang bisa menyebabkan kanker bila dihirup oleh manusia. Sementara Nurmaeni, Staf Bagian Pengendalian Pencemaran BPLHD DKI mengatakan bahwa sebagian besar incinerator yang beroperasi di seluruh rumah sakit di Jakarta tidak mempunyai alat berupa lubang pengukur emisi buang. Termasuk yang tidak memenuhi syarat yaitu incinerator RS Dharmais dan RSPI Sulianti Saroso. Incenerator hanya membakar bahan infeksius begitu saja dan tidak diketahui apakah emisi buangnya mencemari udara disekitar atau tidak. (Hr. Republika 22/3/06)

0

Polemik incinerator

Polemik tentang pengelolaan sampah Kota Bandung dengan menggunakan incineraor antara LSM, warga dan para pemerhati lingkungan, dengan pemerintah kota masih berlangsung. Masing-masing masih betahan dengan pendapatnya masing2. Sampahnya? ya masih dikelola dengan cara lama...di kirim ke TPA.

Memang secara teknis pembakaran sampah dengan incinerator akan menghasilkan bahan kimia berbahaya yaitu dioksin. Namun, studi kelayakan mestinya tetap mesti dijalankan, agar semuanya menjadi jelas untung ruginya.

Mereka yang menentang mestinya sih punya juga tuh solusi alternatifnya. Nggak cuma nentang atau nuduh pemerintah belum melakukan amdal.

Lebih baik lakukan dulu amdal+studi kelayakannya oleh yang ahli, dan semua pihak ikut memonitor prosesnya..kan beres.

Mau sampai kapan atuh...mesti inget juga saban hari sampahnya nambah...

0

"Incinerator" Mini, Jangan Jadi Hiasan

DI tengah tidak berfungsinya incinerator (mesin pembakar sampah) yang dibangun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Keputih, Sukolilo, Dinas Kebersihan Kota Surabaya justru melakukan uji coba dua unit incinerator mini di dua Tempat Penampungan Sementara (TPS) Bratang dan Legundi. Pemakaian mesin pembakar sampah mini sangat mendesak karena TPA Keputih harus ditutup paling lambat akhir tahun.

Mesin buatan luar negeri itu, kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kebersihan, Kusno Wiharjo, sangat tepat untuk mengolah sampah di Surabaya, yang rata-rata produksinya mencapai 9.000 meter kubik per hari. "Sulitnya mendapatkan tanah untuk lahan pembuangan akhir, tidak ada pilihan lain kecuali mengolah sampah di TPS," katanya.

Mesin tersebut akan dibeli sebanyak 223 unit dengan harga masing-masing Rp 50 juta per unit dengan kemampuan olah antara 20-25 meter kubik per hari. Maka, total anggarannya sekitar Rp 11,1 milyar.

Padahal, mesin pembakar sampah yang sudah dibeli tahun 1989 lalu dengan harga Rp 33 milyar, sudah dua tahun ini tidak beroperasi. Kemampuan mesin ini juga berbeda jauh dengan apa yang dipromosikan perusahaan pengimpor karena daya olahnya hanya 200 ton per hari, padahal seharusnya mencapai 1.700 ton.

"Sebelum dibeli, dua mesin pembakar sampah mini itu sudah diuji coba di TPS Bratang dan Legundi. Kedua TPS ini dipilih karena sampahnya dari pasar, rumah makan, dan rumah tangga. Harus jelas apa sampah campuran dan kondisinya sangat basah itu bisa dikelola," ujar Kusno. Jika, mesin tersebut mampu mengolah sampah campuran dan basah, kemungkinan Pemerintah Kota akan membelinya meski mahal harganya.

***

SEBENARNYA apa pun upaya yang ditempuh Dinas Kebersihan itu sah-sah saja. Cuma saja kinerja instansi ini terus disorot berbagai kalangan karena tidak transparan. Seharusnya semua proposal penawaran menyangkut pengolahan sampah ditanggapi dan disampaikan kepada DPRD untuk minta persetujuan. "Pokoknya proyek pengadaan barang dan jasa di atas Rp 50 juta harus lewat tender terbuka dan diumumkan di media massa," kata Sudirdjo, anggota Komisi D DPRD.

Bahkan, kata Sudirdjo, penunjukan langsung untuk penggarapan satu proyek atau pengadaan barang, tetap harus diumumkan. Transparansi itu perlu untuk mengukur kualitas serta profesionalisme perusahaan yang ditunjuk, jadi bukan ditunjuk berdasarkan selera pimpinan di instansi tersebut," ujarnya.

Dengan demikian masyarakat tahu persis nilai proyek yang digarap, dan jika kenyataannya tidak sesuai spesifikasi, masyarakat bisa menggugat atau protes, baik langsung maupun lewat DPRD. Sehingga keberadaan mesin itu tidak cuma menjadi hiasan di tengah tumpukan sampah seperti yang menimpa mesin pembakar sampah seharga Rp 33 milyar di TPA Keputih saat ini. (eta)

0

ARSITEKTUR PERALATAN INSINERATOR SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH YANG DISESUAIKAN DENGAN KONDISI KOTA BANDUNG

Sampah perkotaan merupakan masalah besar bagi pemerintah kota, karena jurnlahnya terus bertambah sesuai pertumbuhan penduduk, sedangkan lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) semakin terbatas. Data Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung tahun 2004 menunjukkan jumlah sampah sekitar 7500 m3/hari, atau setara dengan 1875 ton/hari (dengan asumsi berat jenis sampah sebesar 0.250 ton/m3)

Tahun 2003, BPPT melalui Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan membuat metoda pengelolaan sampah terpadu, dengan rnelakukan proses daur ulang untuk sampah anorganik dan pengkomposan untuk sampah organik, sehingga sisa sampah setelah proses tersebut sebesar 18% atau setara dengan 1350 m3/hari (337.5 ton/hari).

Sisa sampah dapat direduksi lagi untuk menghilangkan sampah secara total dengan menggunakan mesin insinerator, sebagai proses reduksi volume sampah yang paling efektif, yang dapat membakar sampah padat menjadi abu sehingga volumenya tereduksi mencapai 10-20%

Penelitian ini difokuskan pada desain peralatan insinerator yang sesuai dengan kapasitas sampah Kota Bandung yang mampu memenuhi tantangan claim hal kualitas produk yang terkait erat dengan kebutuhan konsumen (customer needs), desain peralatan dengan kualitas yang baik, serta biaya investasi yang diperlukan.

Perhitungan secara kuantitatif menggunakan analisa konjoin sebagai alat pengukuran konsumen, analisis klaster sebagai alat pengelompokan konsumen, Quality Function Deployment sebagai alat untuk menghasilkan nilai target spesifikasi karakteristik teknis, serta metode Pengembangan Produk Generik dalam penentuan arsitektur produk.

Hasil penelitian menunjukkan peralatan insinerator yang layak digunakan dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung adalah 5 buah insinerator dengan kapasitas masing-masing sebesar 80 ton perhari. Biaya investasi untuk membuat satu buah incinerator tersebut sebesar Rp. 9.822.000.000,- dengan biaya operasional sebesar Rp. 3.000.000,- perhari.

Deskripsi Alternatif :

Abstract :


Domestic waste becomes to big problem for city government, because quantity of domestic waste growing in accordance with citizens population growth, whereas Final Disposal Area were limited. Base on Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung's data in 2004, daily quantity of domestic waste are 7500 m3/day or 1875 ton/day (with assumption domestic waste density is 0.25 ton/m3).

In 2003, BPPT through Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan made new method call Integrated Waste Management, with recycle an-organic waste and composting organic waste, with result that waste residue as 18% or equal with 1350 m3/day (337.5 ton/day)

The effective method for reducing waste volume was using Incinerator, which can bum solid waste to be ash and reduce volume up to 10-20%.

This research focusing on incinerator design in accordance with Bandung City waste capacity and can be challenge in quality that linkage with customer needs, good quality design and investment cost.

Quantitative data processing using Conjoint Analysis as customers measurement tools, Cluster Analysis as customer grouping tools, Quality Function Deployment as generate technical characteristic specification targets and Generic Product Development to determine product architecture.

Product research indicated that appropriate incinerator for managing Bandung City domestic waste using 5 units incinerator with capacity 80 ton/day, respectively with investment cost 9.822.000.000,- rupiah for each incinerator and daily operational cost 3.000.000,- rupiah.

0

Aktivis Global Anti Incinerator Alliance "diamankan" di Polwiltabes Bandung

Dear All,

Semalam kami dikontak kawan untuk membantu teman-teman
aktivis lingkungan -Virgiana Cruz Sy (Filipina), Shibu
K. Nair (India), dan Neil V. Tangri (Amerika Serikat),
serta Yuyun Ismawati (Indonesia) yang sejak sekitar
pk. 13.30 wib diperiksa di Polwiltabes Bandung. Mereka
adalah aktivis anggota GAIA (Global Anti Incinerator
Alliance) yang berada di aksi warga menolak
pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa)
di Kompleks Griya Cempaka Arum, Bandung, kemarin
(2/12). Hingga kini keempat orang tersebut masih
berada di Polwiltabes Bandung.

Siang ini rencananya akan diadakan konferensi pers
mengenai persoalan ini. Untuk lebih jelasnya contact
person yang dapat dihubungi: Yuyun Ismawati
(08123819665)

Terima kasih,
R. Valentina

(Pemberitaan mengenai masalah ini dapat pula dilihat
di detiknews.com dan harian Pikiran Rakyat)

0

Sosialisasi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah)

Kamis, 31 Januari 2008
Sumber Badan Komunikasi dan Informatika, dibaca: 4689 kali

Ketua Tim FS PLTSa Kota Bandung, DR. Ir. Ari Darmawan Pasek;
PLTSa, Teknologi Ramah Lingkungan

Hingga saat ini, Pemerintah Kota Bandung terus berupaya untuk menyosialisasikan rencana pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Kota Bandung dengan teknologi Waste to Energy (WTE) kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya kepada warga yang bertempat tinggal di sekitar rencana lokasi pabrik. Di sisi lain, Tim Feasibility Study (FS) PLTSa Kota Bandung baru saja merampungkan Kerangka Acuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)-nya, yang telah pula diserahkan kepada Komisi Amdal Pemkot Bandung beberapa waktu lalu. 'Jika disetujui, selanjutnya proses pengujian Amdal akan kami lakukan sesuai dengan kerangka acuan tersebut," kata Dr. Ir. Ari Darmawan Pasek, Ketua Tim FS PLTSa Kota Bandung, beberapa waktu lalu di ruang kerjanya, Gedung PAUITB Bandung di Jln. Ganesha Bandung .

Menurut Ari, WTE atau yang di Indonesia dikenal dengan istilah PLTSa, didefinisikan sebagai "pemusnah sampah" (Incinerator) modern yang dilengkapi peralatan kendali pembakaran serta sistem monitor emisi gas buang yang kontinyu dan dapat menghasilkan energi listrik. Dari defenisi tersebut, PLTSa lebih ditujukan untuk memusnahkan sampah dari pada menghasilkan listrik. Kebutuhan Kota Bandung akan keberadaan PLTSa dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Di antaranya, seiring dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat, volume sampah yang dihasilkan masyarakat pun semakin meningkat.

Sedangkan beberapa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kota Bandung yang sebelumnya menjadi lahan pembuangan akhir sampah dengan menggunakan sistem open dumping, memiliki keterbatasan baik lahan maupun daya tampung. TPA Cicabe, Pasir Impun, Leuwigajah, Babakan Ciparay dan Jelekong yang berlokasi di Kota Bandung pun akhirnya dinyatakan tutup, menyusul tragedi longsornya TPA Leuwigajah yang memakan puluhan korban jiwa, dan ratusan orang kehilangan rumah tinggal beberapa waktu lalu.
Akibat keterbatasan lahan dan adanya musibah tersebut, maka diperlukan penerapan teknologi yang dapat mereduksi sampah dengan cara-cara yang efisieri, etektif dan berkesinambungan atau jangka panjang (sustain). Sementara pengolahan sampah di Kota Bandung sampai saai ini masih menggunakan metode open dumping, dimana sampah dari sumbernya seperti jalan, pasar, tempat komersial dan fasilitas umum dan pemukiman, dikumpulkan di TPS-TPS, untuk kemudian diolah di TPA, dalam hal ini TPA Sarimukti.
Terlebih lagi, kata Dosen Teknik Mesin ITB ini, semakin maju peradaban dan taraf hidup masyarakat maka volume sampah yang dihasilkan pun akan semakin besar. Contohnya saja, volume total sampah Kota Bandung 2.785 m3/hari. Masyarakat kawasan Bandung Timur menghasilkan sampah 815 m3/hari, Bandung Barat 1.066 m3/hari dan Bandung Tengah 905 m3/hari. 'Jika dilihat, taraf kehidupan masyarakat kawasan Bandung Barat secara umum lebih baik. Itu salah satu contoh kecil. Artinya, ke depan, peradaban masyarakat Kota Bandung akan semakin maju dan volume sampah pun akan semakin meningkat," tandasnya.
Ari kemudian menjelaskan, berdasarkan hasil kajian di beberapa negara, jenis PLTSa yang cocok untuk diterapkan di Kota Bandung adalah PLTSa kondensor berpendingin air. Kapasitas PLTSa yang akan dibangun berkapasitas 500-700 ton/hari dengan kebutuhan air baku 20 liter per detik. Kebutuhan air baku tersebut akan diperoleh dari air olahan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PDAM Kota Bandung yang berlokasi di Bojongsoang. Saat ini, volume sampah Kota Bandung berkisar 2.785 m3/hari, belum dikurangi 25,44% oleh para pemulung. Sehingga volume sampah yang benar-benar dimanfaatkan sebagai bahan baku PLTSa hanya sekitar 2.000 m3/hari atau sekitar 450-500 ton/hari. Sampah Kota Bandung umumnya memiliki komposisi (dalam % berat) sebagai berikut : 42 % organik, 27 % sisa makanan, 9 % plastik bukan daur ulang, 5 % tekstil, 3 % karet dan 14 % lain-lain, dengan kandungan air sampah segar pada kondisi normal kering 40 % dan mencapai 70 % pada musim penghujan. "Adanya fluktuatif kadar air sampah ini, terutama ketika tinggi, tidak akan menjadi masalah, karena pada pengolahan awal, sampah akan ditiriskan terlebih dahulu selama kurang lebih 5 hari di dalam bunker sambil dicacah sehingga kadar air berada pada kisaran 50-55 %," ujarnya.

PLTSa di negara lain

Bagi negara lain, khususnya di belahan Uni Eropa, pengolahan sampah dengan teknologi PLTSa bukan hal baru lagi. Bahkan pada umumnya satu negara tidak hanya memiliki satu PLTSa, tetapi puluhan bahkan ratusan. Seperti halnya Negara Perancis, yang kini memiliki 130 PLTSa, lalu Italic (52) dan Jerman (61 pabrik). Sedangkan di Singapura, terdapat 4 Incinerator Plant, masing-masing Ulu Pandan Incinerator Plant berkapasitas 1.100 ton/hari, Tuas Incinerator Plant (1.700 ton/hari), Senoko Incinerator Plant (2.400 ton/hari) dan Tuas South Incinerator Plant (3.000 ton/hari).
Persoalan adanya perbedaan kultur atau budaya antara negara lain dengan Indonesia, khususnya Kota Bandung yang mempengaruhi cara, kedisiplinan dan perlakuan masyarakatnya dalam mengolah sampah, diyakini Ari menilai tidak akan menjadi kendala, karena peran masyarakat dalam PLTSa bisa dikatakan kecil yaitu hanya ketika proses pemilahan awal dari sumber sampah. Selanjutnya, sampah akan diolah secara teknologi. Ari juga membantah adanya ketakutan jika dalam proses pembangunan pabrik misalnya, terjadi penyelewengan atas spesif ikasi instalasi pabrik yang akan menyebabkan kurang optimalnya operasional pabrik. "Siapa bilang. Memangnya di Indonesia tidak ada pabrik berskala besar? Kalau pabrik pupuk di Kaltim (dikerjakan secara tidak profesional sehingga) ada masalah, dampaknya bahaya sekali, bisa ribuan orang mati karena gas beracun yang ditimbulkannya," ujarnya.
Meski hasil kajian FS membuktikan bahwa PLTSa layak untuk diterapkan di Kota Bandung , Ari menegaskan bukan berarti metode 3R (Reuse, Recycle, Reduce) tidak diperlukan lagi. Di negara maju lain yang sudah menerapkan PLTSa pun, 3R masih digunakan bahkan dikelola secara proiesional. Kalau pun hendak menggunakan konsep 3R, harus menjadi gerakan nasional, mulai masyarakat, produsen hingga pemerintah. Juga dimulai ketika masyarakat akan memilih barang untuk dibeli dan ini juga harus didukung oleh paraprodusen. "Kita tidak bisa menerapkan konsep 3R kalau secara nasional tidak diberlakukan. Masyarakat pun harus konsisten, jika mau bersikap reduce, hams menolak kantong plastik ketika berbelanja dan membawa kantong plastik sendiri dari rumah. Mendidik seperti itu kan ga sebentar, perlu satu atau dua dua generasi. Intinya, mulai dari diri kita sendirilah," tambahnya. Ari mencontohkan, kalau ke supermarket masyarakat terbiasa memakai kantong plastik, padahal kantong plastik itu sampah. Masyarakat tidak pernah menanyakan, apakah kantong yang digunakan hasil recycle atau bukan. Di Eropa sudah menggunakan kertas, di kita masih plastik. Jadi kebijakan pemerintah juga harus mendukung, sehingga semua produk misalnya deterjen, harus bio-degradable," tambahnya.
Hanya saja, kata pria berkaca mata ini, konsekuensi yang harus dihadapi jika pemerintah menggiatkan gerakan nasional tersebut adalah produk atau barang akan menjadi mahal. "Masalahnya, masyarakat kita siap ga dengan itu. Semuanya bisa di reduce, reuse dan recycle. Tapi tentunya kalau kita mendesak pihak industri untuk menggunakan bahan kimia recycle, jatuhnya jadi mahal. Jadi, tinggal bagaimana keseriusan pemerintah. Mahal (atau} murah kan sebenarnya tergantung pemerintah, tapi yang jelas cakupannya harus nasional," ujarnya, yang sangat yakin jika metode reduce tidak akan mengurangi sampah melainkan hanya menunda siklusnya saja.
Pada kesempatan tersebut, Ari juga menambahkan, pengelolaan sampah pada dasarnya mencakup 5 aspek. Yaitu mencegah pada sumbernya (pollution prevention), mengurangi jumlah sampah (waste minimation), mendaur ulang (recycling), mengolah yang tidak dapat didaur ulang (treatment) dan membuang (disposal). Untuk prinsip pertama hingga ketiga, berkaitan erat dengan kultur masyarakat sedangkan prinsip keempat dan kelima berkaitan dengan teknologi.

Limbah PLTSa

Limbah PLTSa terbagi atas lindi (air kotor) dan bau (NH3-N dan H2S) yang dihasilkan pada awal proses penirisan sampah dan abu (bottom ash), debu terbang (fly ash) dan gas buang yang dihasilkan selama proses pembakaran. Namun semua limbah tersebut akan diolah melalui proses yang canggih dan sangat ketat sehingga baik limbah gas buang, cair dan padatnya, semaksimal mungkin tidak akan merugikan apalagi membahayakan lingkungan hidup khususnya masyarakat sekitar.
Sedangkan racun dioksin, yang sempat dikhawatirkan akan terbentuk ketika proses pembakaran sampah berlangsung, ternyata tidak akan pernah terjadi karena dalam waktu tidak lebih dari 2 (dua) detik akan terurai pada temperatur 850-900 derajat Celsius. Dioksin bisa dihasilkan dari proses pembakaran senyawa yang mengandung klorin dengan hidrokarbon pada temperatur rendah sekitar 250 derajat Celsius. "Ini membuktikan bahwa PLTSa ramah lingkunqan. Justru dioksin itu dihasilkan dari pembakaran sampah yang dilakukan rumah tangga karena temperaturnya kurang dari 850 derajat Celsius," katanya.

Pengolahan lindi dan bau

Lindi akan ditampung untuk kemudian diolah sampai pada tingkat tertentu kemudian disalurkan ke Bojongsoang untuk diolah lebih lanjut. Sedangkan bau (NH3-N dan H2S) dan gas methan yang dihasilkan dari proses pembusukan selama sampah ditiriskan akan disalurkan ke dalam ruang bakar (tungku) sehingga gas terbakar dan terurai. Dengan begitu, tidak akan ada bau yang dilepaskan ke udara.

Pengolahan abu, debu terbang dan gas buang

Sisa pembakaran berupa abu dan debu terbang sebesar 20% dari berat atau 5 % dari volume akan diuji kandungan bahan berbahaya dan beracunnya (B3) di laboratorium, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, untuk ditentukan apakah bisa diolah untuk dimanfaatkan atau tidak. Jika dari hasil uji diketahui aman dan bisa dimanfaatkan, maka abu akan digunakan sebagai material untuk membuat jalan dan debu terbang akan dimanfaatkan sebagai bahan campuran bagi material bangunan. Misalnya campuran semen atau batako. Sebaliknya, jika dari hasil uji laboratorium diketahui tidak aman untuk dimanfaatkan, maka abu dan debu terbang akan diproses sesuai dengan ketentuanyang berlaku.
Direncanakan pada lokasi PLTSa akan dibangun penampungan abu dengan kapasitas 1.400 m3 yang mampu menampung abu yang dihasilkan selama 14 hari beroperasi dan silo penampungan debu dengan kapasitas 5.500 m3 yang mampu menampung debu terbang yang dihasilkan selama 5 tahun beroperasi. (yuyun)

0

Say No To Incinerator , Kenapa ?

Oleh Rangkuman Diskusi Milis Migas Indonesia - Desember 2004

Pertanyaan : Nanang Jamil

Di beberapa situs luar, banyak saya temui lembaga swadaya masyarakat yang mengkampanyekan penolakan terhadap incinerator.

Apakah ada rekan yang bisa menjelaskan, kira-kira alasan apa mereka sampai begitu menghawatirkan incinerator.

Mohon pencerahan, karena di unit saya masih menggunakan incinerator sebagai salah satu metoda pengolahan limbah.


Tanggapan 1 : HMP

Alasannya ;

  • pembakaran tdk sempurna dari incinerator akan menghasilkan DIOXIN...........racun yg sangat berbahaya sekali . Biasanya terbentuk pada saat cooling down dan preheating. DIOXIN sendiri digunakan oleh america pada perang vietnam untuk merontokkan tanaman. Contoh lainnya calon presiden UKRANIA yg diracun pakai dioxin sehingga rusak wajahnya.
  • incinerator yg baik itu ada 10 tahapan , tetapi di indo vendor Cuma menjual sampai tahap ke 2 dgn akal2lan. kalo memenuhi 10 tahapan tersebut saya yakin tdk akan sanggup membelinya.
  • energi cost dari incinerator sangat tinggi sekali
  • penggunaan incinerator yg berlebihan akan menyebabkan global warming dan penyebab lapisan ozon bocor
  • metode blower untuk suply oxigen dalam pembakaran sebenarnya akan menyebabkan tertiup keluar emisi2 berbahaya lainnya seperti penguapan logam berat dll.
  • dari pemerintah kita tdk ada pengawasan yg baik mengenai incinerator
  • karena sdh ada aturan di KLH mengenai metode incinerator untuk pengolahan limbah banyak vendor yang memakai JUDUL ini untuk menjual padahal mereka belum tentu memiliki sertifikasi Incineratornya dari KLH..........

mudah2han sedikit keterangan saya dapat membantu , kebetulan kami menawarkan
teknologi alternatif pengganti incinerator


Tanggapan 2 : Steven Brown

Pak Nanang,

Incinerator jaman dulu memang bisa menimbulkan banyak masalah, karena proses incineration kadang menghasilkan gas2 yg beracun. Oleh karena itu, banyak orang masih takut menggunakan incinorator, padahal incinerator yang moderen malah lebih aman daripada landfill. Jika saya disuruh milih antara tinggal di samping landfill yang moderen atau tinggal di samping incinerator yang moderen, saya akan milih incinerator.

Tapi, jangan lupa, incinerator yang model lama memang banyak bermasalah, dan sebaiknya dihindari.

0

Pengelolaan Limbah Medis Jauh di Bawah Standar

BANDUNG, (PR).-
Pengelolaan limbah medis (medical waste) dari rumah sakit, puskesmas, dan laboratorium di cekungan Bandung, masih jauh di bawah standar kesehatan lingkungan karena umumnya dibuang begitu saja ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dengan sistem open dumping (tempat sampah terbuka). Padahal, limbah medis semestinya dibakar menjadi abu di incinerator (tempat pembakaran) yang bersuhu minimal 1.200 derajat celcius.


sampah medis

TEMPAT pembuangan akhir (TPA) sampah yang kerap dijadikan tempat pembuangan limbah medis.*M. GELORA SAPTA/"PR"


Pernyataaan itu diungkapkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kab. Bandung Mulyaningrum, Rabu (1/12). "Kalau pun ada rumah sakit yang memiliki incinerator, paling hanya berfungsi sebagai pembakar (burner), karena suhunya jauh di bawah 1.200 derajat celcius. Akhirnya, limbah yang dibakar pun masih berbentuk seperti arang, bukan abu," kata Mulyaningrum.

Dijelaskan Mulyaningrum, begitu keluar dari incinerator, limbah medis itu semestinya sudah berbentuk abu sehingga tinggal dibuang ke TPA bahan berbahaya dan beracun (B3) dengan sistem sanitary landfill (limbah diuruk tanah). "Karena sudah berbentuk abu, areal TPA pun tidak terlalu banyak terpakai sehingga umurnya bisa lebih panjang. Selain itu, tidak terlalu memerlukan banyak tanah untuk menguruknya," katanya.

Dicontohkan Mulyaningrum, buruknya penanganan limbah medis sempat memakan korban seperti ada pemulung yang harus diamputasi kakinya gara-gara tertusuk jarum suntik di TPA. "Untuk mengatasi itu semua, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sedang mengkaji kemungkinan pembangunan incinerator di Kec. Cipatat, Kab. Bandung yang dapat menampung limbah dari seluruh rumah sakit, laboratorium, dan berbagai fasilitas kesehatan lainnya di cekungan Bandung," katanya.

Mulyaningrum mengatakan, rencana pemilihan tempat di Cipatat karena incinerator tidak cocok dibangun di dalam cekungan yang padat penduduk seperti Kota Bandung. "Jika dipaksakan, incinerator di tengah kota bakal mencemari udara sehingga mengganggu bagi masyarakat di sekitarnya," katanya.

Bakal selaras

Dijelaskan Mulyaningrum, rencana pembangunan incinerator di Cipatat bakal lebih selaras jika dipadukan dengan pendirian TPA limbah B3 di dekatnya. Setelah limbah rumah sakit dibakar di incinerator, abunya tinggal dibuang ke TPA limbah B3 yang berada di dekatnya. Pasalnya, limbah B3 saat ini masih harus dibuang ke TPA limbah B3 di Kec. Cileungsi Kab. Bogor sehingga memakan biaya besar.

Apalagi, Mulayaningrum mengatakan, pembangunan TPA limbah B3 di Kec. Cipatat sudah direkomendasikan oleh ITB yang bekerja sama dengan DLH. "Namun, secara informal, KLH mengatakan daya serap air di lahan itu tidak sesuai dengan persyaratan karena hanya 0,0001 m/detik sedangkan semestinya 0,000001 m/detik. Walau begitu, kendala tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan rekayasa teknologi seperti menggunakan dua lapisan sehingga daya serap airnya bisa menjadi 0,000001 m/detik," katanya.

Pakar lingkungan dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Dr. Setiawan Wangsaatmaja, mengakui, penanganan limbah medis di cekungan Bandung masih buruk. "Anda bayangkan, kalau tumor atau kanker hasil operasi dikorek-korek oleh pemulung di TPA, jelas sangat membahayakan kesehatan manusia," katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kab. Bandung dr. Sukmahadi Thawaf mengakui rumah sakit lama umumnya belum memiliki fasilitas pengolahan limbah sesuai standar kesehatan lingkungan. Walau begitu, berbagai fasilitas itu akan terus dilengkapi secara bertahap. Namun, untuk rumah sakit baru atau yang akan didirikan, berbagai fasilitas pengolahan limbah sesuai standar tersebut harus sudah dimiliki.

Sukmahadi mengatakan, rumah sakit lama belum memiliki fasilitas yang memadai karena standar kesehatan lingkungan pada masa lalu tidak seketat sekarang. "Karena itu, kami sangat mendukung upaya pengolektifan penanganan limbah medis seperti yang direncanakan di Cipatat," katanya.(A-129)***

0

B3 Ancam Kesehatan Warga Limbah Medis Rumah Sakit Wangaya Bermasalah

Proses penanganan limbah medis rumah sakit ini dipastikan bermasalah serius. “Dampaknya mengancam kesehatan warga,” ujar Muliartha yang mengkaji sistem pengolahan limbah rumah sakit tersebut guna meraih gelar magister lingkungan itu.
Rumah sakit ini termasuk tipe B. Tingkat hunian rata-rata 138.549 pasien per tahun.

Jika tingkat hunian makin tinggi otomatis volume limbah medis kian membengkak. Sayangnya, selama ini manajemen RSUD Wangaya dipastikan tak pernah mengukur volume limbah medis padat maupun cair yang dihasilkan dari aktivitas medis di rumah sakit ini. Mereka pun disebutkan jarang melakukan pemantauan kualitas limbah tersebut. Pemantauan emisi dari incinerator bahkan tak pernah dilakukan pihak rumah sakit tadi.

Limbah medis berasal dari kegiatan di rumah sakit. Bentuknya padat maupun cair. Limbah ini dapat berupa potongan badan manusia, sisa darah, cairan tubuh, botol infus bekas pakai, selang infus bekas pakai, sisa antibiotik, sisa obat serta obat kedaluarsa, jarum suntik bekas pakai, cairan radioaktif, maupun buangan laboratorium. Macam-macam limbah medis tersebut mudah meledak, terbakar, reaktif, beracun, dan korosif.

Ada kandungan mikroorganisme patogen yang dapat mengakibatkan infeksi, zat kimia beracun, dan zat radioaktif. “Oleh karena itu, limbah medis lebih berbahaya dibandingkan jenis limbah lainnya,” jelas Muliartha yang berpofesi sebagai jurnalis sebuah kantor berita asing ini.

”Secara mikrobiologi, pemantauan kualitas limbah medis seyogianya dilakukan sekali tiga bulan. Secara kimia, pemantuan kualitas limbah medis seharusnya dilakukan sekali setahun,” katanya.

Langkah antisipasi manajemen rumah sakit ini dinilai tak maksimal. Memang ada fasilitas instalasi pengolahan limbah (IPAL) dan incinerator untuk mengolah limbah medis padat. “Namun, incinerator-nya tak berfungsi maksimal. Blower dan burner atau pemercik api otomatisnya tidak berfungsi secara baik,” ungkap Muliartha dalam tesisnya.

Konsekuensinya, pembakaran limbah medis padat melalui incinerator tidak dapat berlangsung pada suhu optimal. Suhu pembakaran standarnya, yaitu 900-1.200 derajat celsius. Namun, suhu pembakaran limbahnya justru di bawah standar. Akibatnya, limbah medis di rumah sakit tersebut tak dapat terbakar maksimal. Ini membahayakan kesehatan lingkungan,” kata pria asal Klungkung ini.
Kurangnya efektivitas pengelolaan limbah medis rumah sakit tipe B ini dinilai ikut mempengaruhi kualitas lingkungan sekitar, terutama kualitas kesehatan warga yang tinggal di sekitarnya maupun mutu kesehatan pasien di rumah sakit tersebut.

Penelitian selama tujuh bulan di RSUD Wangaya memampu memberi gambaran bahwa pengelolaan limbah medis belum sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.

Mereka masih menggunakan ember plastik biasa yang hanya dilapisi tas plastik merah untuk wadah limbah. Padahal, wadah limbah medis harus terbuat dari bahan yang kuat, ringan, tahan karat, kedap air, dan permukaan dalamnya halus.

Pengumpulan limbah medis dan nonmedis yang menjadi satu di RSUD Wangaya Denpasar akan menyebabkan terkontaminasinya limbah nonmedis. “Walaupun limbah medis telah terbungkus tas plastik, namun kebocoran tas plastik akan memperbesar risiko kontaminasi,” tambahnya.

Pengumpulan limbah medis hendaknya benar-benar dipisahkan antara limbah medis dan nonmedis, termasuk pemisahan dan pengumpulan limbah medis berdasarkan karakteristik.

Pemisahan limbah medis sejak dari ruangan merupakan langkah awal memerkecil kontaminasi limbah nonmedis. Di RSUD Wangaya Denpasar limbah medis dikumpulkan menjadi satu dengan limbah nonmedis dan tanpa sterilisasi terhadap limbah medis.

Limbah medis pun perlu disi
mpan dalam tempat yang aman dan tertutup serta tak dapat dimasuki orang-orang yang berkepentingan. Berbeda di RSUD Wangaya Denpasar yang menyimpan limbah medisnya di tempat terbuka seperti diletakkan di depan bangunan incinerator yang memperbesar kemungkinan terjadinya pencemaran terhadap lingkungan.

Dari segi pengangkutan limbah medis, Muliartha mengatakan pengangkutan limbah medis dan nonmedis di RSUD Wangaya dilakukan dalam satu gerobak sampah. Padahal hal itu akan menyebabkan terkontaminasinya limbah nonmedis oleh limbah medis. “Seharusnya untuk mengangkut limbah medis, diperlukan troli khusus sebab limbah medis digolongkan ke dalam limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang sifatnya mudah meledak, terbakar, reaktif, beracun, bersifat korosif dan bisa menyebabkan infeksi,” tambahnya.

Pembakaran Konvensional
Proses pembakaran pun menjadi hal penting yang perlu dilakukan rumah sakit. Menurut Muliartha pembakaran limbah medis di RSUD Wangaya Denpasar dilakukan dalam incinerator, tapi pembakaran yang terjadi merupakan pembakaran konvensional karena dilakukan dengan bantuan perapian biasa akibat tak berfungsinya burner (pemercik api otomatis) dan penggunaan solar sebagai bahan bakar.

“Proses pembakaran makin tak sempurna dengan tak berfungsinya blower (pengarah asap ke cerobong asap), sehingga asap hasil pembakaran ke luar melalui pintu incinerator yang tidak tertutup dan beberapa celah rongga incinerator. Kondisi tersebut diperparah dengan cerobong asap incinerator yang tingginya hanya satu meter. “Keadaan ini tentunya akan menyebabkan pencemaran udara ambien,” ujarnya.

Selain itu pembakaran hanya berada pada suhu 200 derajat celsius. Padahal, proses insinerasi limbah medis logam dinilai baru efektif pada suhu 1.600 derajat celsius dan 600-1.200 derajat celsius untuk limbah medis nonlogam. “Abu hasil pembakaran mencapai 29,06–36,11% dari berat limbah medis yang dibakar.
Berat abu hasil pembakaran seharusnya 10-30%,” katanya.
Pembakaran yang tidak sempurna ini akan menghasilkan abu hasil pembakaran yang mempunyai kadar logam berat yang cukup tinggi karena abu tersebut mengandung unsur-unsur kimia dan logam sehingga tidak terjadi sublimasi. Berdasarkan uji laboratorium terhadap abu hasil pembakaran limbah medis menunjukkan tingginya kandungan logam berat dalam abu hasil pembakaran.

Kandungan gas NO2, CO2,SO2, CO2 dan Pb dalam udara ambien lebih dominan berasal dari pembakaran solar yang digunakan sebagai bahan bakar pengumpan dalam pembakaran limbah medis di RSUD Wangaya Denpasar.

“Gas NO2 memiliki sifat beracun. Konsentrasi NO2 antara 50-100 ppm dapat menyebabkan radang paru-paru, konsentrasi 150-200 ppm dapat menyebabkan pemampatan bronchioli (bronchiolitis fbrosis obliterans) sehingga bisa menyebabkan orang meninggal dalam waktu 3-5 minggu setelah pemaparan. Konsentrasi lebih dari 500 ppm dapat mematikan dalam waktu 2- 10 hari,” jelas pria kelahiran Klungkung, 21 Januari 1979, ini.

Limbah Medis Cair
Berdasarkan tesisnya, pengolahan limbah medis cair di RSUD Wangaya Denpasar dilakukan dengan sistem IPAL. Limbah medis cair yang dihasilkan dari masing-masing ruangan menurut Muliartha ditampung dalam septic tank. “Padahal penampungan dan pengolahan limbah medis dalam septic tank dilakukan pada rumah sakit tipe C. Bukankah RSUD Wangaya Denpasar adalah rumah sakit tipe B,” ujarnya setengah bertanya.

Seharusnya, menurut Muliartha, RSUD Wangaya membuat bak kontrol untuk mengolah limbah medis cair secara kimia-fisika. Hasil olahan baru dialirkan bersama limbah cair untuk mendapatkan pengolahan biologis. Pada pengolahan sistem IPAL, limbah cair pada tahap pertama akan ditampung dalam bak stabilisasi untuk distabilkan dengan sistem over flow dialirkan ke bak aerasi.

“Dari bak aerasi dengan sistem over flow limbah cair dialirkan ke dalam bak klorinasi untuk mendapatkan tambahan klor bubuk maupun larutan. Setelah proses klorinasi limbah cair hasil pengolahan ditampung dengan bak penampungan sementara,” jelas anak kedua dari tiga bersaudara pasangan I Nengah Muja dan Ni Wayan Wati ini.

Proses pengolahan limbah cair yang tak sempurna akan mempengaruhi kualitas lingkungan limbah tersebut dibuang. “Tetapi hasil akhir pembuangan limbah medis cair berwarna bening dan selama ini kami tak mendapatkan keluhan dari warga sekitar,” ujar Humas RSUD Wangaya Denpasar, Sutikayasa.

Menurut Nyoman Masna, petugas pengolahan limbah medis padat RSUD Wangaya, selama ini alat pemercik api otomatis pada incinerator rusak, sehingga ia menggantinya dengan kompor dan bahan bakar solar untuk proses pembakaran. Abu hasil pembakaran memang tak bisa hancur secara sempurna. “Limbah medis padat seperti jarum tak bisa lebur, hanya patah- patah saja, sedangkan limbah botol hanya bisa pecah,” ujar lelaki yang sudah 15 tahun mengurus sampah rumah sakit tersebut.

Menurutnya, abu hasil pembakaran ditimbun di septic tank yang berada di samping incinerator. Selama dirinya bekerja, septic tank tersebut belum pernah diganti. Secara logika septic tank berukuran kurang lebih 2x3 meter tersebut tak mungkin bisa menampung abu limbah medis padat yang notabene tak bisa hancur secara sempurna. Untuk itu terpaksa ia membuang hasil pembakaran di sempadan Sungai Badung. —lik



Ancam Pelaku Usaha ’Nakal’
Penjara 10 Tahun, Denda 500 Juta

SANKSI denda bagi pengusaha sablon ’nakal’ di Denpasar sudah dijatuhi. Air sungai tak tampak lagi berubah-ubah warna. Namun, persoalan sampah sepertinya belum kunjung usai.

Ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 500 juta bagi usaha/kegiatan yang melanggar UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang tercantum dalam pasal 41-44, mengintai gerak-gerik para pelaku usaha. Ketentuan itu termuat dalam pasal 16 ayat 1 yang menyatakan setiap penanggung jawab usaha/kegiatan wajib melakukan pengolahan limbah hasil usahanya.

Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar telah mencanangkan tahun 2007 sebagai ’tahun penindakan’ bagi pelanggarnya. Ini telah mampu membuat jera para pelaku usaha ’nakal’. Salah satu pengusaha sablon di Denpasar yang limbahnya terbukti mencemari lingkungan, dijatuhi sanksi sebesar Rp 5 juta.

Mulai sadarnya pelaku usaha khususnya pengusaha sablon ini diakui Santi (40), pengusaha salon. Ia mengungkapkan sekitar tahun 2006 sering melihat kali kecil selebar 2,5 meter di depan salonnya di Jalan Raya Pemogan itu berwarna-warni. ”Sekarang berwarna biru, besok merah, besoknya lagi kuning. Tapi itu dulu, setelah ada penertiban, sekarang sudah tidak pernah lagi,” katanya.

Santi memiliki sebuah toko di bantaran Sungai Badung, tepatnya di Jalan Pulau Baru Timur. Sungai Badung dulu kerap pula menjadi tempat sampah masyarakat sekitarnya. “Sekarang sudah tidak ada lagi. Mungkin mereka malu karena sungai ini sekarang bersih,” ujarnya.

Namun, tidak halnya dengan masyarakat di bantaran Sungai Badung, tepatnya di Jalan Pulau Biak. Setidaknya 50%-nya adalah penduduk pendatang.

Made Ardana, yang berprofesi sebagai guru SDN di Sanur mengungkapkan, kasus banjir enam bulanan karena meluapnya air Sungai Badung kini sudah mampu tertanggulangi dengan pengadaan proyek peninggian dan pelebaran sungai Badung.

Menurutnya, hanya satu persoalan yang masih belum mampu tertangani, yakni sampah. Hal itu juga dibenarkan Nengah Wirna, seorang pemilik toko asal Karangasem yang sejak tahun 1982 mulai merintis usahanya menyediakan sembako.

“Kalau saya sudah mengerti bagaimana menjaga kebersihan lingkungan. Makanya, saya menyediakan tempat sampah yang sampahnya setiap hari diambil. Tiap bulan saya membayar Rp 7.500 kepada orang itu,” katanya sembari menunjuk tempat sampah dari anyaman bambu berdiameter 60 centi meter di depan tokonya.

Ia sangat menyayangkan sikap warga sekitar yang tak menggubris kebersihan, yang tak berani membayar jasa kebersihan, yang dengan seenaknya menimbun sampahnya di bawah jembatan. ”Karena penuh, sampah itu sering jatuh ke sungai. Sampah yang tertimbun dibakar. Saya khawatir jembatan itu akan ambruk karena besi-besinya sering dibakar dan panas,” ujarnya jengkel.

Perlu adanya bak penampungan sampah sempat ia sampaikan kepada petugas pengawas proyek penghijauan sungai Badung saat itu. Entah karena keluhan itu atau memang sudah ada dalam progam kerja, pemkot Denpasar kemudian memasang dua bak sampah berbentuk balok berukuran lebih kurang 40x30x60 centi meter, di dua tempat berbeda di sepanjang ruas jalan Pulau Biak.

Bak sampah mungil yang menurut Nengah Wirna lebih tepat diletakkan di kamar tidur itu lengkap dengan petunjuk organik dan non-organik. Kini, tempat sampah itu sudah tak ada di tempatnya lagi. Salah satunya terlihat diletakkan di depan warung seorang warga. —ten



B3 Mengganggu Pencernaan

HINGGA kini penanganan limbah medis padat masih menyisakan masalah.
Sebagian besar limbah medis padat dimusnahkan dengan tungku pembakaran. Padahal, pembakaran limbah atau sampah yang mengandung senyawa-senyawa berbahaya itu akan menghasilkan dioksin yakni bahan beracun yang dihasilkan saat terjadi pembakaran substansi alami kimia. Demikian diungkapkan Ketua II Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Unud dr. I Wayan Darwata, M.P.H.

Master of Public Health tamatan Universitas Hawai tahun 1983 ini menegaskan, pembakaran limbah terutama yang berbahan baku plastik menghasilkan gas CO dan benzopyrin yang dapat memicu kanker.

“Bukan hanya pembakaran limbah medis yang berbahaya, pembakaran sampah, daun-daunan, dan kayu bakar juga mengganggu kesehatan. Pembakaran ini menghasilkan gas karbon yakni gas yang tidak berbau, tidak berwarna berasal dari proses pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar non fosil (kayu bakar). Gas SO2 mengakibatkan iritasi mata dan CO2 mengakibatkan sesak napas,” ujarnya.

Ia mengatakan jangka pendek efek asap pembakaran dapat menurunkan daya tahan paru-paru, dan jangka panjang dapat memicu kanker.

Katagori limbah medis padat seperti limbah infeksius terdiri atas bekas balutan, spesimen laboratorium, jaringan busuk. Limbah tajam seperti peralatan gelas yakni thermometer, jarum suntik dan alat suntik. Limbah plastik seperti bekas kemasan obat dan barang, spuit sekali pakai. Ada juga limbah kimia, obat-obatan, radioaktif, dan dapur. Limbah cair seperti air cucian perabotan dapur,bahan makanan, cucian pakaian, darah, dan cairan infus. “Limbah tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya,” katanya.

Saat ini, katanya, limbah medis cair sudah ditangani melalui Instalasi Pengendalian Air Limbah (IPAL) di masing-masing rumah sakit. Hanya saja, Darwata menilai penanganan limbah padat medis dengan proses pembakaran masih menyisakan masalah.

Pencucian Batik dan Sablon
Selain limbah medis, kata dokter Darwata, sektor sandang seperti pencucian batik dan sablon yang memakai warna sistetis dapat mengakibatkan pencemaran karena proses pencucian memerlukan air sebagai mediumnya dalam jumlah besar. “Proses ini mengakibatkan air limbah yang besar mengandung sisa warna kimia, kadar minyak dan mengandung limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Jika dialirkan ke sungai menimbulkan gangguan pencernaan, sakit kulit, dan gangguan organ tubuh lainnya,” ujarnya.

Ia menyayangkan industri rumahtangga seperti pembuatan tempe tahu menyalurkan limbahnya ke sungai. Sisa air tahu yang menggumpal, akan mengalami perubahan fisika, kimia dan hayati yang menciptakan tumbuhnya kuman penyakit.

Menurutnya bila dibiarkan dalam air limbah, akan berubah warna dan berbau busuk. “Bau ini dapat mengakibatkan gangguan saluran pernapasan. Jika limbah dialirkan ke sungai akan mencemari sungai dapat menimbulkan penyakit kulit, gatal dan diare,” ujarnya.

Menurut Kepala Bidang Kesehatan Lingkungan IKM Utami Dwipayanti, S.T., M.Bev. air laut adalah suatu komponen yang berinteraksi dengan lingkungan daratan dimana buangan limbah dari daratan akan bermuara di laut.
Selain itu, air laut juga sebagai penerima polutan yang jatuh dari atmosfir. Limbah tersebut yang mengandung polutan masuk ke dalam ekosistem perairan, sebagian larut dalam air, sebagian tenggelam ke dasar laut dan sebagian masuk ke jaringan tubuh organisme laut termasuk ikan, kerang, udang lainnya.

“Bila makanan laut atau sea food yang tercemar ini dimakan manusia akan berbahaya bagi kesehatan. Makanan yang tercemar logam berat mempunyai daya racun tinggi yang mengakibatkan kematian. Seperti kasus penyakit Minamata yang terjadi di Jepang,” ujar Utami.

Tamatan University of New South Wales Sydney tahun 2005 ini mengatakan penyakit Minamata ini terjadi akibat akumulasi logam berat merkuri dalam tubuhnya karena mengnsumsi ikan dan hewan laut yang berasal dari teluk Minamata yang tercemar merkuri limbah industri PI Chisso. Mereka mengalami gejala kerusakan otak, gangguan bicara dan hilangnya keseimbangan tidak dapat berjalan.

“Pencemaran logam berat tidak mengenal ambang batas karena jika sudah masuk ke tubuh manusia dia bersifat akumulatif dan tertimbun. Logam berat yang terakumulasi dalam tubuh manusia dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tubuh, menimbulkan cacar fisik, melemahkan sistem saraf. Bagi ibu hamil, pencemaran logam berat sangat berbahaya bukan saja merusak kesehatan ibunya, tapi kesehatan dan pertumbuhan bayinya juga terganggu.
Ia menyebutkan industri yang memberikan limbah buangan merkuri seperti pabrik tinta, pertambangan, pabrik kimia, pabrik kertas, penyamakan kulit, tekstil, farmasi.

Ia mengatakan risiko tinggi yang berpotensi terkena masyarakat yang mengonsumsi ikan yang berasal dari daerah perairan yang tercemar mercuri.
Pada industri pertambangan emas memerlukan bahan merkuri atau air raksa yang akan menghasilkan limbah logam berat cair. Hal ini kata Utami, dapat memicu keracunan saraf dan merupakan bahan teratogenik.

Selain itu, timbal (Pb) sumber emisi dari pabrik plastik, percetakan, pabrik baterai, kendaran bermotor, dan cat, juga termasuk logam berat yang berbahaya. Ia mengatakan sekali masuk ke tubuh akan masuk ke darah, sumsum tulang, liver, otak, tulang dan gigi. Efeknya gangguan ginjal kronis.

Khromium (Cr) adalah metal kelabu keras. CR didapat pada industri gelas, metal, fotografi. Khromium sendiri sebetulnya tidak toksin, tapi senyawanya yang dihasilkan dapat menimbulkan luka pada kulit dan selaput lendir, dan kerusakan pada tulang hidung. Dalam paru-paru menimbulkan kanker. —ast


Air Limbah dapat Dipakai Lagi

AIR Limbah hasil industri khususnya sablon bisa kembali digunakan untuk proses penyablonan. Namun, hal itu harus melalui beberapa tahap penyaringan, seperti yang dilakukan UD Murni Batik. Bagaimana sistem kerjanya?

Kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh pengusaha sablon banyak terjadi di wilayah Denpasar Barat dan Denpasar Selatan. Bulan Oktober 2007, Pemda membuat pilot project dengan memberikan bantuan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) kepada UD Murni Batik yang berlokasi di jalan Pulau Batanta Gang IV Nomor 7 Denpasar.

Bagi pemiliknya Sukandar (53), batik memang sudah melekat pada dirinya sejak masih kanak-kanak. Kakeknya adalah seorang pembatik. Ketika menginjak remaja, berbekal pengetahuan dari sang kakek, Sukandar mulai membuat stamp batik dan menawarkannya ke beberapa perusahaan. Usaha kecilnya ini tak banyak mendapat respon. Ia merasa masih perlu menempa ilmu lagi. Tahun 1976, pria asal Solo ini kembali belajar membuat batik di kota kelahirannya. Merantau ke Jakarta menjadi pedagang kaki lima pernah pula dilakoninya.

Karena tak membuahkan hasil, ia kembali ke Solo. Tahun 1993 atas kesepakatan istri yang dinikahinya tahun 1974, ia dan keluarganya memutuskan mencoba peruntungan di Bali. ”Tahun 1993 itu saya masih membuat stamp batik. Tahun 1999 baru mulai membuat sablon,” ungkapnya.

Saat ini Sukandar mempekerjakan 10 orang pegawai. Bahkan saat order banyak, bisa sampai 40 orang. Dari hasil usahanya itu Sukandar mampu membeli tanah seluas 10 are yang kini dipakainya sebagai tempat usaha penyablonan.
Sukandar mengatakan bantuan Pemda yang baru rampung itu, sejak dua minggu terakhir mulai dioperasikan.

Sebelum itu, UD Murni juga pernah mendapat bantuan pengolahan air limbah dari pihak Amerika yang kini sudah dialihkan ke pengusaha lain. Namun jauh sebelum mendapatkan dua bantuan tadi, Sukandar telah memiliki bak penampungan limbah hasil usahanya.

Bak itu disekat menjadi empat kotak yang masing-masing berukuran 2 x 1,5 dengan kedalaman 2 meter. Sebelum dialiri ke sungai, limbah itu diberi HCL, obat tawas, dan kaporit untuk menghilangkan warna. ”Air itu bersih dan aman. Sampel airnya saya masukkan ikan, dan ikannya tetap hidup,” katanya.

Meski mendapat bantuan IPAL dari Pemda, bak penampungannya yang dulu masih dipakainya. Hanya saja air limbah yang telah bersih, yang dulunya langsung dialiri ke sungai, sekarang kembali dimasukkan ke bak penampungan bantuan pemda itu.

Setelah diendapkan pada bak pertama, air limbah itu dialiri ke bak kedua yang berukuran 6 x 2 x 3 meter berisi pasir bercampur arang yang sudah dihancurkan. Bak ini ditutupi bahan fiber berwarna bening. ”Agar tidak kena air hujan tapi tetap bisa kena sinar matahari biar permukaannya kering,” jelas Sukandar yang sedikit memahami fungsi alat itu.

Di bak ini menurutnya terjadi proses penyaringan. Hasil serapan itu menjadi zat padat. Itu bisa dilihat pada permukaan pasir bercampur arang yang berwarna hijau kebiru-biruan. Tampak seperti lumut dan ditumbuhi tanaman-tanaman kecil. Sisa penyaringan pada bak kedua ini telah menghasilkan air bersih yang ditampung pada bak ketiga.

Sistem pengolahan limbah bantuan Amerika yang tinggal menyisakan bak penampungannya saja itu, masih tetap difungsikan oleh Iskandar. Air limbah yang sudah bersih tadi dialiri ke bak besar ini yang berukuran 8 x 2 meter dengan ketinggian 2 meter. Bak ini disekat-sekat menjadi empat ruang, dan proses penyaringannya memakai bahan ijuk. Air hasil penyaringannya, dipakai kembali untuk proses penyablonan. –ten

RS Aman, Warga Nyaman

I Made Toples berdiri di depan rumahnya. Ia memperhatikan air yang mengalir di got. Got itu dalamnya 1,5 meter. Air yang mengalir cukup deras. “Dulu got ini tidak dalam. Sejak ada RS Puri Bunda, got diperbaiki.

Senderan yang dulu batako diganti batu kali biar lebih kokoh. Airnya juga tidak pernah berhenti mengalir. Ini air resepan sawah yang sudah bercampur air buangan rumah tangga dan RS,” ujar pria yang tinggal di Selatan RS Puri Bunda ini.

Lancarnya aliran air ini membuat Toples tak perlu khawatir. Ia juga mengaku air yang mengalir tak pernah mengeluarkan bau tak sedap. “Mungkin karena lancar, tidak pernah ada bau yang menyengat. Kalau musim hujan saja air agak tinggi. Tetapi, tidak masalah juga. Alirannya lancar,” imbuh pria yang nyambi jualan bensin eceran ini.

Ketika ditanya mengenai air buangan dari RS Puri Bunda, Toples tak mempermasalahkan. Ia tidak takut adanya limbah RS. Setahunya, semua sudah diolah dan keluar sebagai air. Pihak RS menurutnya juga sudah memperhatikan masalah pembuangan. Buktinya, got yang dulu kecil sudah diperdalam dan disender. Bahkan, got di seberang rumah Toples semuanya disender dengan batu kali agar lebih kokoh dan aman.

Sriani, warga yang tinggal di depan RS Puri Bunda menyatakan hal senada dengan Toples. “Selama ini tidak pernah ada bau. Kami tidak pernah terganggu dengan air buangan. Malahan sejak ada RS Puri Bunda, lingkungan kami jadi lebih bersih. Aliran air di got lebih lancar karena got diperbesar,” ujar perempuan yang berjualan makanan ini.

Pihak RS Puri Bunda melalui Direktur Umum dan Keuangan Desak Agung Setiawati mengaku masalah limbah memang menjadi perhatian RS. “Kami tidak ingin ada complain dari warga mengenai limbah. Syukurlah berkat proses pengolahan limbah yang kami lakukan, tidak ada complain dari warga. RS aman, warga yang ada di lingkungan RS juga aman,” terangnya.

Bu Agung yang didampingi Supervisor Engineering I Gusti Ngurah Suwiherawan menambahkan, selain proses pengolahan yang berkali-kali, limbah juga sering diperiksakan di laboratorium. Dinas Kesehatan juga kerap melakukan sidak untuk mengetahui kondisi limbah di rumah sakit bersalin ini.

Ngurah memaparkan limbah RS terdiri dari limbah medis dan nonmedis. Masing-masing limbah ini terdiri dari limbah padat dan limbah cair. Untuk limbah padat medis, seperti bekas infus dan jarum suntik, pengolahan dilakukan di RS Sanglah. Setiap hari ada petugas yang datang mengambil. Volume rata-ratanya 3 kantong besar ukuran 5 kg. Volume ini bisa berubah tergantung jumlah pasien.

RS Puri Bunda telah menjalin kontrak dengan RS Sanglah untuk pengolahan limbah kesehatan ini karena alat pengolahan hanya ada di RS paling besar di Bali ini. Untuk limbah nonmedis, pihak Puri Bunda bekerja sama dengan pihak ketiga. Pihak ketiga inilah yang menyortir sampah kemudian membuangnya di TPA Suwung.
Khusus limbah medis cair seperti darah dan urine, Puri Bunda melakukan pengolahan sendiri.

Mereka memiliki sistem pengolahan yang sudah teruji dengan bioreaktor. Volume yang diolah rata-rata 8 kubik per hari. Polanya hampir mirip septic tank yang ada di rumah tangga, namun prosesnya lebih detail.

“Limbah cair masuk ke dalam bak peresapan dan penghancuran. Dari bak peresapan diangkat dengan pompa masuk bak penampungan lalu ke bak penyaringan. Selanjutnya masuk ke ruang pengurai yang dilengkapi dengan bakteri. Setelah melalui proses penguraian, yang keluar berupa air. Kami juga menambahkan kaporit sebelum air ini keluar,” jelas Ngurah.

Bu Agung menambahkan keluaran berupa air ini relatif aman karena Puri Bunda melayani persalinan yang tidak menghasilkan limbah yang membahayakan. Untuk lebih meyakinkan lagi, setiap hari pompa dan kaporit dicek sedangkan perawatan sistem dilakukan setiap enam bulan sekali. —wah




Limbah Medis Cair
Diolah Jadi Air Bersih


PEMBUANGAN limbah menjadi masalah lingkungan yang selalu hangat diperbincangkan. Tak hanya dalam lingkungan tempat tinggal, dalam lingkungan medis seperti rumah sakit, limbah kerap membuat pasien dan pengunjung merasa kurang nyaman. Untuk memberikan kenyamanan bagi pasien dan pengunjung, tahun ini RSUD Kabupaten Buleleng akan membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebagai tempat pengolahan limbah cair baik medis maupun nonmedis menjadi air bersih siap pakai.
Air bersih hasil pengolahan limbah cair baik medis maupun nonmedis akan digunakan untuk menyiram tanaman. Rencana pembangunan IPAL di RSUD Buleleng itu diungkap Direktur RSUD Kabupaten Buleleng, dr. Nyoman Mardhana, Sp.B. “Tahun ini, pengolahan limbah cair baik medis maupun nonmedis akan diolah secara canggih pada IPAL. Hasil dari proses ini berupa air bersih yang siap digunakan untuk menyiram tanaman,” jelas dr. Mardana.
Selama ini, limbah cair dan padat diolah secara alami menjadi pupuk organic. Khusus untuk limbah cair nonmedis, ditampung pada septitank di setiap unit ruangan rumah sakit. Selanjutnya setiap enam bulan sekali dilakukan penyedotan pada septitank oleh petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Pertamanan. “Proses ini biasanya dikeluhkan pasien dan pengunjung. Saat dilakukan penyedotan, bau yang dikeluarkan cukup menyengat dan menimbulkan suara bising. Untuk menghindari hal itu, mudah-mudahan IPAL tahun ini segera terelisasi demi kenyamanan penghuni rumah sakit,” terang dr. Mardana. Yang juga menjadi masalah selama ini yaitu kurangnya kesadaran pengunjung rumah sakit akan kebersihan dan kesehatan. “Masih ada yang membuang sampah sembarang di got sehingga menghambat proses lancarnya aliran air. Untuk menangani hal itu, petugas cleaning service terus dikerahkan. Kalau tak segera ditangani bahaya kalau musim hujan bisa terjadi banjir. Untungnya selokan-selokan dibuat dengan kemiringan tertentu sehingga tak ada air yang menggenang,” jelas dr. Mardana.
Limbah medis baik padat maupun cair diproses melalui pembakaran pada alat khusus yaitu Incenerator. Dalam suhu hingga 1000 derajat celcius, sampah medis padat seperti jarum suntik, implus, perban, selang dan beberapa perlengkapan medis padat lainnya dihanguskan menjadi debu.

Debu itu selanjutnya dibuang pada tempat khusus. “Karena debu hasil olahan limbah padat medis itu panas, tak baik digunakan langsung untuk pupuk tanaman. Tapi setelah tiga hari dapat digunakan bagi yang menginginkannya,” tambah dr. Mardana. Sedangkan sampah cair medis seperti, darah setelah operasi, dan cairan lainnya langsung lenyap dalam Incenerator.

Petugas Pelaksana Incenerator RSUD Buleleng, Gede Antara Jaya (33) menjelaskan, cara kerja alat pengolah limbah medis itu tidak menimbulkan kebisingan dan pencemaran bagi penghuni rumah sakit maupun warga sekitar. Meski mengeluarkan asap yang langsung dialirkan ke udara, Dinas Kesehatan Provinsi Bali menyatakan alat tersebut aman bagi bagi kesehatan dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.

Asap tersebut dialirkan ke udara melalui cerobong dengan ketinggian 12 meter. “Sebelumnya, memang ada keluhan dari warga sekitar, karena asap yang dikeluarkan mengepul ke rumah mereka. Namun setelah cerobong asap dibuat lebih tinggi, sampai sekarang tak ada keluhan,. Apalagi asap dan limbah hasil pengolahan alat ini sudah dinyatakan aman bagi kesehatan dan lingkungan,” jelas Antara. —put