Rabu, 24 Desember 2008

Incinerator Darminto Buat Warga Green Ville Bangga

JAKARTA - Di beberapa negara maju seperti di Prancis dan Inggris, penggunaan incinerator (tempat pembakaran sampah) sebagai alat pengolahan sampah mendapat kritik tajam karena dinilai membahayakan lingkungan. Asap dan abu yang dihasilkan dari proses pembakaran incinerator kabarnya mengandung zat kimia beracun, seperti dioksida, magnesium, arsenik, dan merkuri. Zat-zat ini bisa menyebabkan kanker jika terhirup dan terakumulasi dalam tubuh.
Di Jakarta, incinerator baru mulai dilirik sebagai ”solusi masa depan” pengolahan sampah yang selama ini tergantung pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Selain dinilai memiliki kapasitas cukup besar untuk mengolah sampah, incinerator juga dinilai lebih tepat untuk Ibu Kota karena tak memakan lahan besar.
Sebuah incinerator bisa jadi hanya memerlukan lahan seluas puluhan meter persegi sehingga fasilitas pengolahan sampah itu bisa ”diselipkan” di berbagai tempat di tengah kota, tidak jauh dari pemukiman penduduk di mana sampah dihasilkan.
Ide penggunaan incinerator di DKI akhir-akhir ini juga mendapat angin segar menyusul berakhirnya penggunaan TPA Bantar Gebang akhir 2003 mendatang. Terancam kehilangan tempat penampungan sampah, Pemda kini tengah mengupayakan pembangunan berbagai fasilitas pengolahan sampah berteknologi tinggi agar sampah DKI yang jumlahnya mencapai sekitar 5.000 ton per hari bisa diolah tuntas. Salah satunya, incinerator.
Di tengah situasi seperti itu, wajar bila incinerator yang dibangun secara swadaya oleh warga RW 09 Perumahan Green Ville, Kel. Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mengundang minat besar dari berbagai pihak. Pasalnya, incinerator milik warga RW 09 Green Ville itu merupakan hasil modifikasi yang lebih murah dibandingkan dengan jika pemda harus membeli incinerator baru dari luar negeri.
Darminto, Wakil Ketua RW 09 Green Ville, bisa disebut sebagai ”teknisi” perancang alat pembakar sampah tersebut. Saat ditemui Kamis (3/4), ia mengakui banyak pihaknya sudah banyak dihubungi untuk meminta keterangan mengenai incinerator buatannya itu.
”Memang sudah banyak yang bertanya, tetapi saya tidak bisa mengatakan semuanya, karena itu kan rahasia saya. Yang jelas, mesin ini saya bangun dengan memanfaatkan berbagai teknologi yang telah saya pelajari dari berbagai tempat. Memang, bisa saja membeli incinerator yang sudah jadi dari luar negeri, tetapi itu jauh lebih mahal. Harganya bisa di atas Rp 1 miliar, sedangkan buatan saya ini berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 800.000. Selain itu, operasionalnya juga lebih murah,” jelasnya.
Incinerator rakitan warga itu berkapasitas 6 m3, dan mampu membakar sampah sebanyak 15-20 m3 per hari. Sebelum dibakar dalam mesin yang dijalankan dengan bahan bakar minyak tanah itu, sampah dipilah antara sampah yang mudah terbakar seperti sampah organik atau plastik, dan sampah yang memerlukan waktu lama untuk terbakar semisal logam atau kaca.
Kemudian, sampah dibakar dalam suhu kurang lebih 800 derajat celcius selama kurang lebih 15 menit hingga menjadi abu. Abu hasil pembakaran,menurut keterangan Darminto, dicampur dengan tanah untuk dijadikan pupuk.
Dampak lingkungan? Darminto mengaku mesin hasil ciptaannya telah dirancang sedemikian rupa sehingga ramah lingkungan. Buktinya, asap yang dikeluarkan dari mesin itu hanya sedikit, dan warnanya pun putih, meskipun mesin itu digunakan untuk membakar plastik sekalipun.
”Bandingkan dengan cara pembakaran sampah konvensional yang biasa dilakukan warga, di mana asap langsung berhamburan ke mana-mana dan menyebabkan polusi. Dalam incinerator ini, asap hasil pembakaran sampah terperangkap di dalam. Baru kemudian, setelah melalui penyaringan bertahap, asap buangan akhir yang jumlahnya sudah jauh berkurang dan warnanya juga tak lagi hitam, dibuang melalui cerobong,” paparnya.
Bukti lain keramahan lingkungan mesin incinerator itu, lanjutnya, terlihat dari tetap hijaunya pepohonan sekitar incinerator yang setiap hari terkena asap hasil pembakaran. ”Kalau asap itu mengandung zat beracun, atau panas, pasti pohon itu akan mati, setidaknya mengering. Ternyata setelah incinerator berjalan satu bulan, pohon itu tetap hijau segar. Berarti asap buangan incinerator ini tak beracun,” katanya.
Meskipun demikian, Darminto toh mengakui bahwa sejauh ini pihaknya tak diminta melakukan uji dampak incinerator itu terhadap lingkungan sekitar. Hal itu, menurutnya, disebabkan karena ide pembangunan incinerator itu didukung oleh pemda.
”Kita ini kan tidak untuk tujuan komersial, tetapi untuk kepentingan warga sendiri. Selain itu, kita didukung kelurahan dan kecamatan. Wagub DKI Fauzi Bowo bahkan merasa sangat puas, dan mengatakan incinerator ini diharapkan menjadi proyek percontohan bagi DKI. Para kepala daerah lain, seperti dari Malang, Manado dan Palu juga sudah pernah datang ke sini untuk melakukan studi banding tentang incinerator ini,” tambahnya.
Di satu sisi, Darminto benar. Uji dampak terhadap lingkungan rasanya kini terlalu mengada-ada dilakukan, mengingat masih banyak praktik pengolahan sampah tradisional, seperti langsung membakar sampah di udara terbuka, masih banyak dilakukan masyarakat.
Toh, protes keras terhadap penggunaan incinerator yang tengah berlangsung di negara-negara lain tentunya juga perlu dilirik Pemda DKI. Jangan karena terburu-buru menyiapkan sarana pengolahan sampah pengganti Bantar Gebang, risiko lingkungan lain diambil tanpa berpikir panjang.
(SH/ruth hesti utami)

0 komentar: