Rabu, 24 Desember 2008

"incinerator" datang: pr buat pemerhati kesehatan lingkungan

Berita tentang diresmikannya pemakaian incinerator di Surabaya (TEMPO, 16 Mei 1992, Ilmu dan Teknologi) menarik perhatian saya untuk menulis surat ini. Pemakaian di negara maju menunjukkan, disamping bermanfaat, incinerator juga menimbulkan masalah. Saya tak bermaksud menentang kehadiran incinerator, cuma mengingatkan agar kita berhati-hati.

Kemampuan incinerator mendegradasi sampah organik dalam waktu singkat menyebabkan alat itu menjadi salah satu alternatif yang andal bagi penanggulangan sampah di negara-negara industri. Pengoperasian incinerator di Surabaya pun diharapkan dan tampaknya akan, membantu mengatasi problem sampah di kota itu.

Kehadirannya bisa diterima, namun harus disertai dengan kewaspadaan karena banyak laporan menunjukkan bahwa incinerator sampah menimbulkan emisi sejumlah senyawa beracun sebagai hasil pembakaran tak sempurna yang tak sepenuhnya bisa dihindari.

Salah satu kelompok senyawa beracun keluaran incinerator yang banyak mendapat perhatian adalah dioxin. Di dalamnya termasuk kongener 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin yang sering disebut sebagai senyawa paling beracun yang pernah dikenal. Meskipun mekanisme terbentuknya dioxin dalam incinerator belum sepenuhnya dipahami, umumnya sudah dierima anggapan bahwa pembakaran tak sempurna bahan-bahan seperti plastik mungkin bertanggung jawab terhadap pembentukan dioxin itu. Dan dalam prakteknya susah menghindari sampah plastik masuk ke incinerator.

Dioxin yang terbentuk dalam incinerator sebagian akan terperangkap dalam abu sisa pembakaran, sehingga keberadaannya bisa dilokalisir. Tapi sebagian lagi keluar lewat cerobong asap dan akan tersebar ke lingkungan bebas. Karena sifatnya larut dalam media yang bersifat minyak dan tak mudah didegradasi, melalui rantai makanan, dioxin cenderung terakumulasi ke dalam jaringan lemak pada organisme tingkat tinggi. Tak terkecuali manusia, mempunyai kemungkinan mengakumulasikan dioxin, dan kalau meningkat terus, meskipun lambat, suatu saat akan mengalami sindrom penyakit tertentu, kanker, misalnya. Sebab itu pengoperasian incinerator di awasi di negara maju.

Usaha untuk menekan serendah mungkin emisi dioxin terus dilakukan, diantaranya dengan perbaikan desain, mengontrol suhu operasi, dan pemasangan back filter seperti yang dilakukan pada beberapa incinerator di Jepang. Kita sudah semestinya tidak lengah membiarkan incinerator beroperasi tanpa pengawasan yang memadai. Pemeriksaan secara berkala harus dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak incinerator kita itu mengemisikan dioxin. Di samping itu pengawasan dan pendokumentasian, ke mana saja abu sisa pembakarannya disimpan dan dibuang, hendaklah dilakukan secara tertib dengan memperlakukannya sebagai "limbah yang perlu diawasi". Sebelum mempunyai batasan sendiri mengenai jumlah emisi yang aman, untuk sementara waktu kita bisa mengadaptasi batasan yang dipakai di negara pendahulu.

Barangkali kita masih longgar dalam menetapkan standar mengingat di areal Indonesia baru ada satu incinerator. Juga kondisi alam tropis kita lebih mampu mereduksi jumlah dioxin yang lepas ke lingkungan ketimbang alam di negara pendahulu yang umumnya terletak di kawasan bukan tropis.

G.JARNUZI Dept. Of Environment Conservation Science Ehime University 3-5-7 Tarumi 790 Matsuyama Japan

0 komentar: