Sampah apabila tidak dikelola dengan baik justru dapat menjadi sumber penyakit yang dapat merugikan masyarakat. Sampah juga dapat menjadi sumber polusi pada air, tanah dan udara. Dalam kondisi yang demikian kita diwajibkan melakukan upaya untuk mengatasinya. Pada dasarnya sampah merupakan suatu bahan yang terbuang dan tidak memiliki nilai ekonomis. Kendati demikian, dalam penanganannya ternyata membutuhkan dana yang besar.
Bali sendiri sebagai daerah pariwisata yang dikunjungi wisatawan mancanegara dituntut selalu bersih dan menjaga kesehatan lingkungan. Justru masalah yang muncul dalam penanganannya adalah masalah biaya operasional yang tinggi dan terbatasnya ruang untuk pembuangannya. Dalam menangani masalah sampah, pemerintah daerah dan kabupaten melalui Dinas DKP membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk pengelolaannya.
Kegiatan pengelolaan sampah yang diterapkan saat ini terbagi dalam tiga tahap yakni pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir. Dengan sistem ini setelah dikaji, pemerintah melakukan pemborosan tenaga dan dana yang tidak sedikit. Dari segi pengumpulan sampah dinilai kurang efisien karena mulai dari sumber sampah sampai ke tempat pembuangan akhir, sampah belum dipilah-pilah. Sehingga, kalau diterapkan teknologi lanjutan berupa komposting maupun daur ulang perlu tenaga untuk pemilahan menurut jenisnya sesuai dengan yang dibutuhkan, dan hal ini akan memerlukan dana maupun menyita waktu.
Pembuangan akhir ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dapat menimbulkan masalah yakni perlu lahan yang besar, sehingga hanya cocok bagi kota yang masih mempunyai banyak lahan yang tidak terpakai. Apalagi kota semakin bertambah jumlah penduduknya, sampah akan menjadi semakin bertambah, baik jumlah maupun jenisnya. Hal ini akan semakin bertambah juga luasan lahan bagi TPA. Apabila instalasi Incinerator yang ada tidak dapat mengimbangi jumlah sampah yang masuk, jumlah timbunannya semakin lama semakin meningkat. Dikhawatirkan akan timbul berbagai masalah sosial dan lingkungan, di antaranya dapat menjadi lahan yang subur bagi pembiakan jenis-jenis bakteri serta bibit penyakit lain, bau tidak sedap yang dapat tercium dari puluhan bahkan ratusan meter dan dapat mengurangi nilai estetika dan keindahan lingkungan.
Pembuangan dengan sistem open dumping dapat menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan. Pada penimbunan dengan sistem anarobic landfill akan timbul leachate di dalam lapisan timbunan dan akan merembes ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Leachate ini sangat merusak dan dapat menimbulkan bau tidak enak, selain itu dapat menjadi tempat pembiakan bibit penyakit seperti lalat, tikus dan lainnya.
Sedangkan pembuangan dengan cara sanitary landfill, walaupun dapat mencegah timbulnya bau, penyakit dan lainnya, tetapi masih memungkinkan muncul masalah lain yakni timbulnya gas yang dapat menyebabkan pencemaran udara. Gas-gas yang mungkin dihasilkan adalah methan, H2S, NH3 dan lainnya. Gas H2S dan NH3 walaupun jumlahnya sedikit, namun dapat menyebabkan bau yang tidak enak sehingga dapat merusak sistem pernapasan tanaman dan membuat tanaman kekurangan gas oksigen dan akhirnya mati.
Penggunaan incinerator dalam pengolahan sampah memiliki beberapa kelemahan, di antaranya dihasilkan abu (15 persen) dan gas yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Selain itu, gas yang dihasilkan dari pembakaran dengan menggunakan alat ini dapat mengandung gas pencemar berupa NOx, SOx dan lain-lain yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Dapat menimbulkan air kotor saat proses pendinginan gas maupun proses pembersihan incinerator dari abu maupun terak. Kualitas air kotor dari instalasi ini menyebabkan COD meningkat dan pH menurun. Memerlukan biaya yang besar dalam menjalankan incinerator. Untuk menangani sampah? 800 ton/hari memerlukan investasi Rp 60 milyar, sedangkan dari hasil penjualan listrik yang dihasilkanhanya Rp 2,24 milyar/tahun. Butuh keahlian tertentu dalam penggunaan alat ini dan penggunaan incinerator ini tidak dapat berdiri sendiri dalam pemusnahan sampah, tetapi masih memerlukan landfill guna membuang sisa pembakaran.
Pembangunan TPA dalam kondisi saat ini kurang relevan lagi, sebab lahan perkotaan semakin sempit dan terjadi pertambahan penduduk terus-menerus yang membutuhkan lahan untuk tempat tinggal.
Berbasis Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan aspek yang terpenting untuk diperhatikan dalam sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam suatu proses pembangunan terbagi atas empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil-hasil pembangunan dan pengawasan serta monitoring. Masyarakat senantiasa ikut berpartisipasi terhadap proses-proses pembangunan apabila terdapat faktor-faktor yang mendukung, antara lain kebutuhan, harapan, motivasi, sarana dan prasarana, dorongan moral, dan adanya kelembagaan baik informal maupun formal. Model ini akan dapat memangkas rantai transportasi yang panjang dan beban APBD yang berat. Selain itu masyarakat secara bersama diikutsertakan dalam pengelolaan yang akan memancing proses serta hasil yang jauh lebih optimal daripada cara yang diterapkan saat ini.
Sistem manajemen persampahan yang dikembangkan harus merupakan sistem manajemen yang berbasis pada masyarakat yang dimulai dari pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga. Setiap rumah tangga memisahkan sampah mereka ke dalam tiga tempat (tong) sampah. Masing-masing diisi oleh sampah organik, anorganik yang dapat didaur ulang (seperti gelas, plastik, besi, kertas dan sebagainya). Sampah plastik dikumpulkan kemudian dikirim ke industri yang mengolah sampah plastik. Demikian halnya sampah kertas dikumpulkan kemudian dikirim ke industri pengolah kertas. Sedangkan sampah organik disatukan untuk kemudian dikomposkan untuk digunakan sebagai pupuk pertanian. Untuk kotoran ternak dapat dijadikan bahan baku biogas dan kompos. Industri pengolah bahan sampah menjadi bahan baku dibuat pada skala kawasan, bisa terdiri dari satu kecamatan atau beberapa kecamatan. Hal ini untuk memangkas jalur transportasi agar menjadi lebih efisien. Dari bahan baku kemudian dibawa ke industri pengolah yang lebih besar lagi yang dapat menerima bahan baku dari masing-masing kawasan. Di tempat ini bahan baku yang diterima dari masing-masing kawasan diolah menjadi barang yang bernilai ekonomis tinggi.
Teknologi yang digunakan untuk memecahkan permasalahan sampah ini merupakan kombinasi tepat guna yang meliputi teknologi pengomposan, biogas, penanganan plastik, pembuatan kertas daur ulang. Teknologi pengolahan sampah berbasis masyarakat menuju Zero Waste harus merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Dibutuhkan regulasi khusus agar masyarakat dapat secara teratur memisahkan sampahnya dan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat secara persuasif menyadarkan anggota masyarakatnya. Untuk suatu tujuan yang mulia perlu dukungan semua pihak.
Penulis pemerhati lingkungan dan ekologi
0 komentar:
Posting Komentar