Rabu, 24 Desember 2008

Penanganan Limbah di RSU Mataram Petugas Kurang, Kesadaran Kurang

Inilah salah satu hal yang membuat rumah sakit kelihatan kumuh dan kotor secara kasat mata. Meskipun tong-tong dan keranjang sampah sudah tersedia, tidak serta merta membuat petugas kebersihan rumah sakit mudah untuk menangani persoalan sampah ini. Dibutuhkan kerja ekstra dari petugas kebersihan rumah sakit untuk menanganinya.

Rumah Sakit Umum Mataram sebagai rumah sakit terbesar di NTB, kerap mendapat sorotan dari masyarakat soal kondisi kebersihannya yang masih kurang. Kesan kumuh dan aroma yang kurang sedap menjadi salah satu keluhan, seperti dilontarkan Hanisa yang beberapa waktu lalu menunggui keluarganya yang rawat inap di rumah sakit tersebut. Soal ini, diakui terus terang oleh Made Wijana, Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RSU Mataram, yang ditemui Koran Tokoh.

Secara visual, kondisi RSU Mataram memang masih tampak kurang bersih. Namun, dari hasil pemeriksaan laboratorium kuman udara ruang terutama di ruang tindakan, hasilnya sudah memenuhi persyaratan di bawah baku mutu. Kuman udara ruang di RSU Mataram, dikategorikan aman karena berada di bawah standar.

”Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan dua kali dalam setahun. Dilihat dari hasil tes laboratorium terhadap kuman udara ruang, kesehatan lingkungan RSU Mataram dikategorikan aman,” katanya.
Untuk persoalan ruang yang kotor akibat sampah, tentu saja dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik antara pihak rumah sakit dan pengunjung.

Menurut Made, kondisi layanan kebersihan yang terlihat kurang memadai ini bukan hanya diakibatkan oleh para pengunjung, melainkankan juga kinerja RSU Mataram dalam hal ini yang masih perlu ditingkatkan lagi. Misalnya, kurangnya tenaga kebersihan yang mampu membersihkan rumah sakit berlantai tiga yang beroperasi 24 jam tersebut.

Untuk membersihkan rumah sakit seluas itu, RSU Mataram hanya memiliki 70 tenaga kebersihan yang mengurus ruangan dan juga taman RSU Mataram. ”Idealnya, untuk pelaksanaan kebersihan 24 jam di sini diperlukan 150 tenaga kebersihan,” kata Made. Jadi, tenaga sejumlah tersebut bisa selalu bertugas dengan berganti shif sehingga kebersihan tetap terjaga.

Kondisi kebersihan RSU Mataram yang kerap dikeluhkan pengunjung ini, juga diperparah oleh pengunjung sendiri. Meski sudah dibuat aturan satu pasien satu penunggu, kenyataannya satu pasien bisa lebih dari dua atau tiga penunggunya. Perilaku pengunjung yang sulit untuk diarahkan menjadi tambahan masalah bagi para petugas kebersihan rumah sakit.

Kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya, hingga kini belum sepenuhnya ditaati padahal tong-tong sampah sudah disediakan. Sampah-sampah berupa plastik dan pembalut kerap dibuang di kloset dan saluran-saluran air sehingga menyebabkan kloset dan saluran air tersumbat. Aroma tidak sedap tentu saja akan muncul karena kurang lancarnya pembuangan.

Ditambah lagi, sampah yang kadang dibuang di sembarang tempat. Bisa jadi, kurangnya tenaga kebersihan inilah yang juga menyebabkan tong sampah kadang ditemukan dalam keadaan sudah penuh sehingga sampah sisa makanan dan sebagainya diletakkan begitu saja oleh pengunjung. ”Mau buang sampah di mana lagi, tong sampahnya kadang sudah penuh,” ujar Niah yang menunggui kerabatnya.

Limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit yang setiap harinya dikunjungi oleh ribuan pengunjung ini, menyisakan limbah padat dan limbah cair yang dikelola dengan cara yang berbeda. Limbah padat yang dihasilkan rumah sakit biasanya dikategorikan sebagai limbah infeksius dan noninfeksius.

Limbah infeksius, kata Made, adalah limbah yang ada kaitannya dengan kontak langsung dengan pasien (limbah yang berisiko seperti perban, infus, kateter, dan potongan-potongan sisa operasi). Limbah infeksius ini dikelola secara khusus dalam pemusnahannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Untuk membakar sampah/limbah infeksius ini, menggunakan mesin pembakar khusus bernama incinerator. Limbah noninfeksius merupakan sampah dari sisa makanan misalnya, yang tidak berisiko menularkan penyakit, biasanya dibuang ke tempat pembuangan sampah. ”Pembuangan limbah noninfeksius ini bekerjasama dengan Dinas Kebersihan yang setiap hari mengangkutnya,” kata Made.

Untuk limbah cair dikelola menggunakan WWTP (waste water treatment plan). Semua limbah cair yang berasal dari kloset, wastafel dan sebagainya yang berasal dari ruang tindakan diolah dalam WWTP.

Volume limbah cair RSU Mataram mencapai 150 meter kubik sehari. Sedangkan limbah padat infeksius sejumlah satu meter kubik dan noninfeksius tiga meter kubik sehari. Untuk memudahkan penanganan limbah rumah sakit, pihak RSU Mataram dari awal memisahkan antara limbah infeksius dan noninfeksius.

”Limbah infeksius ditampung menggunakan tas plastik berwarna merah dan noninfeksius ditampung menggunakan warna hitam,” kata Made. Untuk memisahkan dua jenis limbah ini pun, menurut Made, kadang masih mengalami kendala dari kesadaran masyarakat maupun tim medis.

Terkadang, pada kresek berwarna merah terdapat limbah noninfeksius. Hal ini kerap ditemukan oleh tenaga pembakar limbah di mesin incinerator.
”Tidak jarang limbah bercampur,” kata Ahmad, salah seorang petugas pengoperasi incinerator.

Ketidakdisiplinan semacam ini tentu saja berpengaruh terhadap berhasilnya pengelolaan limbah rumah sakit. Mengenai pemisahan tempat sampah berwarna ini sudah berulangkali diberitahukan kegunaannya.

Meski demikian, sampah dari pengunjung atau tim medis masih kerap bercampur. Kurangnya kedisiplinan ini juga menjadi masalah tersendiri bagi tenaga kebersihan rumah sakit.

Di bagian pembakaran memang tidak lagi dipisahkan mana yang infeksius mana yang noninfeksius karena sudah bercampur dan sulit dipisahkan lagi. ”Yang kami tahu, limbah infeksius dan noninfeksius dipisahkan berdasarkan warna tas platik,” ungkap Ahmad yang sudah lebih dari lima tahun menjadi petugas pembakar limbah infeksius di mesin incinerator.

Limbah rumah sakit yang infeksius setiap hari dibakar menggunakan mesin incinerator berkapasitas satu meter kubik per sekali pembakaran. Mengingat limbah ini berisiko maka tidak pernah dibiarkan berada di luar selama berhari-hari. Suhu pembakaran pada mesin pembakar khusus ini maksimal 1.200 derajat.

Pembakaran dilakukan selama 50 menit hingga satu jam. Sisa pembakaran akhir berupa abu saja. Sekali pembakaran mesin ini membutuhkan 20-30 liter minyak tanah. Mesin ini memiliki dua burner, satu untuk membakar benda dan satunya sebagai pembakar asap untuk menghilangkan racun.

Limbah infeksius dari ruang pasien penyakit berbahaya seperti, AIDS, SARS dan Flu Burung langsung dibakar saat itu juga. Petugas ruangan-ruangan khusus tersebut misalnya untuk penyakit Flu Burung, mengantar dan memasukkannya sendiri limbah infeksius tersebut ke dalam incinerator.

”Petugas khusus tersebut memakai APD (Alat Pelindung Diri) mulai dari ruangan hingga memasukkan limbah infeksius dari ruangan penderita Flu Burung,” ujar Ahmad. Demikian pula limbah infeksius dari penderita AIDS. Petugas pembakar tetap diberitahukan bahwa limbah tersebut merupakan limbah yang berasal dari penderita AIDS. Tetapi, tidak diberitahukan berasal dari ruangan mana. —nik

0 komentar: