Rabu, 24 Desember 2008

DKI PERLU MODERNISASI PENGOLAHAN SAMPAH

JAKARTA - Pengelolaan sampah di Ibu Kota memang mengalami dilema dengan banyaknya penduduk yang mencapai 8,5 juta jiwa. Dengan produksi sampah tiga liter per orang per hari, Ibu Kota menghasilkan 6.000 ton sampah setiap harinya. Untuk itu, perlu dilakukan modernisasi pengolahan sampah dalam aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Demikian dingkapkan Direktur Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan BPPT, Dr Ir Tusy Agustin Adibroto, Kamis (18/8). Dia menimbang perlunya paradigma baru dalam pengelolaan sampah. Sampah sebagai sumber daya. \'Selain itu, sampah dapat dikonversi menjadi energi listrik (waste to energy) melalui produksi metana dan insinerasi,\' ujar Tusy, Kamis (18/8). Program tersebut, lanjut Tusy, berpotensi masuk dalam CDM (program pembangunan bersih). Tusy menambahkan, sampah bukanlah sesuatu yang harus dibuang, melainkan dapat diolah menjadi produk baru. Sampah juga tidak perlu berkonotasi kotor dan bau bila dikelola dengan baik. \'Contohnya inceneration plant di Fukuoka, Jepang, bangunannya seperti museum. Tempat itu juga menjadi sentra ekonomi,\' papar Tusy. Selain mengolah sampah dalam waktu kurang dari 24 jam, tempat tersebut, juga menjadi sarana pendidikan untuk anak sekolah yang ingin belajar tentang pengelolaan sampah dan kebersihan. Produk-produk hasil daur ulang sampah, lanjut dia, juga diperjualbelikan dengan harga mahal. \'Tidak ada lagi konotasi kalau sampah itu bau karena hasilnya dapat dijual dengan harga mahal.\' Pengolahan sampah secara benar, seperti di Fukuoka, tidak akan menimbulkan pencemaran. Tempat pengolahan sampah juga dapat dilengkapi sabuk hijau (green belt) di sekelilingnya yang berfungsi sebagai taman kota. Pengolahan sampah tersebut dapat dilakukan dengan beberapa teknologi. Teknologi refused derived fuel (RDF) mengolah sampah dengan jalan dipanaskan hingga 80 derajat celcius. Sampah itu kemudian dipilah, materi yang tidak dapat dimanfaatkan dihancurkan dan dibentuk briket (bahan bakar power plant). Teknologi lainnya adalah penggunaan incinerator. Dengan teknologi ini, semua sampah dibakar, energinya dimanfaatkan untuk listrik sedangkan arang dan abu sisa pembakaran digunakan sebagai bahan bangunan dan lain-lain. Dalam konsep pengelolaan sampah terpadu, sampah yang jumlahnya 6.000 ton per hari itu dipilah menjadi organik (4080 ton) yang dikomposkan serta an-organik (1920 ton) yang didaur ulang. Sisa proses tersebut (1080 ton) dapat diangkut ke TPA/ sanitary landfill atau diolah dalam incinerator. Dengan incinerator, sampah tersebut dibakar sehingga sisanya tinggal 215 ton (3,6 persen) saja. Sisa pembakaran tersebut dapat digunakan sebagai bahan bangunan atau dikirim ke TPA. Tempat pembuangan akhir (TPA), seperti Bantar Gebang, akan diubah menjadi reusable sanitary landfill. Dengan perubahan itu, TPA hanya akan menampung 10 sampai 20 persen (sekitar 1000 ton) residu sampah. Ke depan, masalah sampah akan coba ditangani dari tingkat terkecil, yaitu rumah tangga. Kepala Dinas Kebersihan DKI, Rama Boedi meminta masyarakat mulai memilah dan mengolah sampah sebelum dibuang. Kemudian, di DKI akan dibangun empat intermediate treatment facility (ITF) sebagai sarana pengelolaan sampah utama. ITF akan menggunakan teknologi ramah lingkungan tanpa meniumbulkan polusi. Dengan demikian, sampah yang diangkut ke TPA tinggal residu. Anggota DPD DKI Jakarta, Sarwono Kusumaatmaja, memandang masyarakat harus mulai berpikir layaknya pemulung. \'Anggaplah sampah itu sebagai faktor produksi untuk dimanfaatkan, sebagai bahan baku\' kata Sarwono. (c40 ) Sumber : Republika (19/8/05) ***

0 komentar: