Rabu, 24 Desember 2008

B3 Ancam Kesehatan Warga Limbah Medis Rumah Sakit Wangaya Bermasalah

Proses penanganan limbah medis rumah sakit ini dipastikan bermasalah serius. “Dampaknya mengancam kesehatan warga,” ujar Muliartha yang mengkaji sistem pengolahan limbah rumah sakit tersebut guna meraih gelar magister lingkungan itu.
Rumah sakit ini termasuk tipe B. Tingkat hunian rata-rata 138.549 pasien per tahun.

Jika tingkat hunian makin tinggi otomatis volume limbah medis kian membengkak. Sayangnya, selama ini manajemen RSUD Wangaya dipastikan tak pernah mengukur volume limbah medis padat maupun cair yang dihasilkan dari aktivitas medis di rumah sakit ini. Mereka pun disebutkan jarang melakukan pemantauan kualitas limbah tersebut. Pemantauan emisi dari incinerator bahkan tak pernah dilakukan pihak rumah sakit tadi.

Limbah medis berasal dari kegiatan di rumah sakit. Bentuknya padat maupun cair. Limbah ini dapat berupa potongan badan manusia, sisa darah, cairan tubuh, botol infus bekas pakai, selang infus bekas pakai, sisa antibiotik, sisa obat serta obat kedaluarsa, jarum suntik bekas pakai, cairan radioaktif, maupun buangan laboratorium. Macam-macam limbah medis tersebut mudah meledak, terbakar, reaktif, beracun, dan korosif.

Ada kandungan mikroorganisme patogen yang dapat mengakibatkan infeksi, zat kimia beracun, dan zat radioaktif. “Oleh karena itu, limbah medis lebih berbahaya dibandingkan jenis limbah lainnya,” jelas Muliartha yang berpofesi sebagai jurnalis sebuah kantor berita asing ini.

”Secara mikrobiologi, pemantauan kualitas limbah medis seyogianya dilakukan sekali tiga bulan. Secara kimia, pemantuan kualitas limbah medis seharusnya dilakukan sekali setahun,” katanya.

Langkah antisipasi manajemen rumah sakit ini dinilai tak maksimal. Memang ada fasilitas instalasi pengolahan limbah (IPAL) dan incinerator untuk mengolah limbah medis padat. “Namun, incinerator-nya tak berfungsi maksimal. Blower dan burner atau pemercik api otomatisnya tidak berfungsi secara baik,” ungkap Muliartha dalam tesisnya.

Konsekuensinya, pembakaran limbah medis padat melalui incinerator tidak dapat berlangsung pada suhu optimal. Suhu pembakaran standarnya, yaitu 900-1.200 derajat celsius. Namun, suhu pembakaran limbahnya justru di bawah standar. Akibatnya, limbah medis di rumah sakit tersebut tak dapat terbakar maksimal. Ini membahayakan kesehatan lingkungan,” kata pria asal Klungkung ini.
Kurangnya efektivitas pengelolaan limbah medis rumah sakit tipe B ini dinilai ikut mempengaruhi kualitas lingkungan sekitar, terutama kualitas kesehatan warga yang tinggal di sekitarnya maupun mutu kesehatan pasien di rumah sakit tersebut.

Penelitian selama tujuh bulan di RSUD Wangaya memampu memberi gambaran bahwa pengelolaan limbah medis belum sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.

Mereka masih menggunakan ember plastik biasa yang hanya dilapisi tas plastik merah untuk wadah limbah. Padahal, wadah limbah medis harus terbuat dari bahan yang kuat, ringan, tahan karat, kedap air, dan permukaan dalamnya halus.

Pengumpulan limbah medis dan nonmedis yang menjadi satu di RSUD Wangaya Denpasar akan menyebabkan terkontaminasinya limbah nonmedis. “Walaupun limbah medis telah terbungkus tas plastik, namun kebocoran tas plastik akan memperbesar risiko kontaminasi,” tambahnya.

Pengumpulan limbah medis hendaknya benar-benar dipisahkan antara limbah medis dan nonmedis, termasuk pemisahan dan pengumpulan limbah medis berdasarkan karakteristik.

Pemisahan limbah medis sejak dari ruangan merupakan langkah awal memerkecil kontaminasi limbah nonmedis. Di RSUD Wangaya Denpasar limbah medis dikumpulkan menjadi satu dengan limbah nonmedis dan tanpa sterilisasi terhadap limbah medis.

Limbah medis pun perlu disi
mpan dalam tempat yang aman dan tertutup serta tak dapat dimasuki orang-orang yang berkepentingan. Berbeda di RSUD Wangaya Denpasar yang menyimpan limbah medisnya di tempat terbuka seperti diletakkan di depan bangunan incinerator yang memperbesar kemungkinan terjadinya pencemaran terhadap lingkungan.

Dari segi pengangkutan limbah medis, Muliartha mengatakan pengangkutan limbah medis dan nonmedis di RSUD Wangaya dilakukan dalam satu gerobak sampah. Padahal hal itu akan menyebabkan terkontaminasinya limbah nonmedis oleh limbah medis. “Seharusnya untuk mengangkut limbah medis, diperlukan troli khusus sebab limbah medis digolongkan ke dalam limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang sifatnya mudah meledak, terbakar, reaktif, beracun, bersifat korosif dan bisa menyebabkan infeksi,” tambahnya.

Pembakaran Konvensional
Proses pembakaran pun menjadi hal penting yang perlu dilakukan rumah sakit. Menurut Muliartha pembakaran limbah medis di RSUD Wangaya Denpasar dilakukan dalam incinerator, tapi pembakaran yang terjadi merupakan pembakaran konvensional karena dilakukan dengan bantuan perapian biasa akibat tak berfungsinya burner (pemercik api otomatis) dan penggunaan solar sebagai bahan bakar.

“Proses pembakaran makin tak sempurna dengan tak berfungsinya blower (pengarah asap ke cerobong asap), sehingga asap hasil pembakaran ke luar melalui pintu incinerator yang tidak tertutup dan beberapa celah rongga incinerator. Kondisi tersebut diperparah dengan cerobong asap incinerator yang tingginya hanya satu meter. “Keadaan ini tentunya akan menyebabkan pencemaran udara ambien,” ujarnya.

Selain itu pembakaran hanya berada pada suhu 200 derajat celsius. Padahal, proses insinerasi limbah medis logam dinilai baru efektif pada suhu 1.600 derajat celsius dan 600-1.200 derajat celsius untuk limbah medis nonlogam. “Abu hasil pembakaran mencapai 29,06–36,11% dari berat limbah medis yang dibakar.
Berat abu hasil pembakaran seharusnya 10-30%,” katanya.
Pembakaran yang tidak sempurna ini akan menghasilkan abu hasil pembakaran yang mempunyai kadar logam berat yang cukup tinggi karena abu tersebut mengandung unsur-unsur kimia dan logam sehingga tidak terjadi sublimasi. Berdasarkan uji laboratorium terhadap abu hasil pembakaran limbah medis menunjukkan tingginya kandungan logam berat dalam abu hasil pembakaran.

Kandungan gas NO2, CO2,SO2, CO2 dan Pb dalam udara ambien lebih dominan berasal dari pembakaran solar yang digunakan sebagai bahan bakar pengumpan dalam pembakaran limbah medis di RSUD Wangaya Denpasar.

“Gas NO2 memiliki sifat beracun. Konsentrasi NO2 antara 50-100 ppm dapat menyebabkan radang paru-paru, konsentrasi 150-200 ppm dapat menyebabkan pemampatan bronchioli (bronchiolitis fbrosis obliterans) sehingga bisa menyebabkan orang meninggal dalam waktu 3-5 minggu setelah pemaparan. Konsentrasi lebih dari 500 ppm dapat mematikan dalam waktu 2- 10 hari,” jelas pria kelahiran Klungkung, 21 Januari 1979, ini.

Limbah Medis Cair
Berdasarkan tesisnya, pengolahan limbah medis cair di RSUD Wangaya Denpasar dilakukan dengan sistem IPAL. Limbah medis cair yang dihasilkan dari masing-masing ruangan menurut Muliartha ditampung dalam septic tank. “Padahal penampungan dan pengolahan limbah medis dalam septic tank dilakukan pada rumah sakit tipe C. Bukankah RSUD Wangaya Denpasar adalah rumah sakit tipe B,” ujarnya setengah bertanya.

Seharusnya, menurut Muliartha, RSUD Wangaya membuat bak kontrol untuk mengolah limbah medis cair secara kimia-fisika. Hasil olahan baru dialirkan bersama limbah cair untuk mendapatkan pengolahan biologis. Pada pengolahan sistem IPAL, limbah cair pada tahap pertama akan ditampung dalam bak stabilisasi untuk distabilkan dengan sistem over flow dialirkan ke bak aerasi.

“Dari bak aerasi dengan sistem over flow limbah cair dialirkan ke dalam bak klorinasi untuk mendapatkan tambahan klor bubuk maupun larutan. Setelah proses klorinasi limbah cair hasil pengolahan ditampung dengan bak penampungan sementara,” jelas anak kedua dari tiga bersaudara pasangan I Nengah Muja dan Ni Wayan Wati ini.

Proses pengolahan limbah cair yang tak sempurna akan mempengaruhi kualitas lingkungan limbah tersebut dibuang. “Tetapi hasil akhir pembuangan limbah medis cair berwarna bening dan selama ini kami tak mendapatkan keluhan dari warga sekitar,” ujar Humas RSUD Wangaya Denpasar, Sutikayasa.

Menurut Nyoman Masna, petugas pengolahan limbah medis padat RSUD Wangaya, selama ini alat pemercik api otomatis pada incinerator rusak, sehingga ia menggantinya dengan kompor dan bahan bakar solar untuk proses pembakaran. Abu hasil pembakaran memang tak bisa hancur secara sempurna. “Limbah medis padat seperti jarum tak bisa lebur, hanya patah- patah saja, sedangkan limbah botol hanya bisa pecah,” ujar lelaki yang sudah 15 tahun mengurus sampah rumah sakit tersebut.

Menurutnya, abu hasil pembakaran ditimbun di septic tank yang berada di samping incinerator. Selama dirinya bekerja, septic tank tersebut belum pernah diganti. Secara logika septic tank berukuran kurang lebih 2x3 meter tersebut tak mungkin bisa menampung abu limbah medis padat yang notabene tak bisa hancur secara sempurna. Untuk itu terpaksa ia membuang hasil pembakaran di sempadan Sungai Badung. —lik



Ancam Pelaku Usaha ’Nakal’
Penjara 10 Tahun, Denda 500 Juta

SANKSI denda bagi pengusaha sablon ’nakal’ di Denpasar sudah dijatuhi. Air sungai tak tampak lagi berubah-ubah warna. Namun, persoalan sampah sepertinya belum kunjung usai.

Ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 500 juta bagi usaha/kegiatan yang melanggar UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang tercantum dalam pasal 41-44, mengintai gerak-gerik para pelaku usaha. Ketentuan itu termuat dalam pasal 16 ayat 1 yang menyatakan setiap penanggung jawab usaha/kegiatan wajib melakukan pengolahan limbah hasil usahanya.

Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar telah mencanangkan tahun 2007 sebagai ’tahun penindakan’ bagi pelanggarnya. Ini telah mampu membuat jera para pelaku usaha ’nakal’. Salah satu pengusaha sablon di Denpasar yang limbahnya terbukti mencemari lingkungan, dijatuhi sanksi sebesar Rp 5 juta.

Mulai sadarnya pelaku usaha khususnya pengusaha sablon ini diakui Santi (40), pengusaha salon. Ia mengungkapkan sekitar tahun 2006 sering melihat kali kecil selebar 2,5 meter di depan salonnya di Jalan Raya Pemogan itu berwarna-warni. ”Sekarang berwarna biru, besok merah, besoknya lagi kuning. Tapi itu dulu, setelah ada penertiban, sekarang sudah tidak pernah lagi,” katanya.

Santi memiliki sebuah toko di bantaran Sungai Badung, tepatnya di Jalan Pulau Baru Timur. Sungai Badung dulu kerap pula menjadi tempat sampah masyarakat sekitarnya. “Sekarang sudah tidak ada lagi. Mungkin mereka malu karena sungai ini sekarang bersih,” ujarnya.

Namun, tidak halnya dengan masyarakat di bantaran Sungai Badung, tepatnya di Jalan Pulau Biak. Setidaknya 50%-nya adalah penduduk pendatang.

Made Ardana, yang berprofesi sebagai guru SDN di Sanur mengungkapkan, kasus banjir enam bulanan karena meluapnya air Sungai Badung kini sudah mampu tertanggulangi dengan pengadaan proyek peninggian dan pelebaran sungai Badung.

Menurutnya, hanya satu persoalan yang masih belum mampu tertangani, yakni sampah. Hal itu juga dibenarkan Nengah Wirna, seorang pemilik toko asal Karangasem yang sejak tahun 1982 mulai merintis usahanya menyediakan sembako.

“Kalau saya sudah mengerti bagaimana menjaga kebersihan lingkungan. Makanya, saya menyediakan tempat sampah yang sampahnya setiap hari diambil. Tiap bulan saya membayar Rp 7.500 kepada orang itu,” katanya sembari menunjuk tempat sampah dari anyaman bambu berdiameter 60 centi meter di depan tokonya.

Ia sangat menyayangkan sikap warga sekitar yang tak menggubris kebersihan, yang tak berani membayar jasa kebersihan, yang dengan seenaknya menimbun sampahnya di bawah jembatan. ”Karena penuh, sampah itu sering jatuh ke sungai. Sampah yang tertimbun dibakar. Saya khawatir jembatan itu akan ambruk karena besi-besinya sering dibakar dan panas,” ujarnya jengkel.

Perlu adanya bak penampungan sampah sempat ia sampaikan kepada petugas pengawas proyek penghijauan sungai Badung saat itu. Entah karena keluhan itu atau memang sudah ada dalam progam kerja, pemkot Denpasar kemudian memasang dua bak sampah berbentuk balok berukuran lebih kurang 40x30x60 centi meter, di dua tempat berbeda di sepanjang ruas jalan Pulau Biak.

Bak sampah mungil yang menurut Nengah Wirna lebih tepat diletakkan di kamar tidur itu lengkap dengan petunjuk organik dan non-organik. Kini, tempat sampah itu sudah tak ada di tempatnya lagi. Salah satunya terlihat diletakkan di depan warung seorang warga. —ten



B3 Mengganggu Pencernaan

HINGGA kini penanganan limbah medis padat masih menyisakan masalah.
Sebagian besar limbah medis padat dimusnahkan dengan tungku pembakaran. Padahal, pembakaran limbah atau sampah yang mengandung senyawa-senyawa berbahaya itu akan menghasilkan dioksin yakni bahan beracun yang dihasilkan saat terjadi pembakaran substansi alami kimia. Demikian diungkapkan Ketua II Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Unud dr. I Wayan Darwata, M.P.H.

Master of Public Health tamatan Universitas Hawai tahun 1983 ini menegaskan, pembakaran limbah terutama yang berbahan baku plastik menghasilkan gas CO dan benzopyrin yang dapat memicu kanker.

“Bukan hanya pembakaran limbah medis yang berbahaya, pembakaran sampah, daun-daunan, dan kayu bakar juga mengganggu kesehatan. Pembakaran ini menghasilkan gas karbon yakni gas yang tidak berbau, tidak berwarna berasal dari proses pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar non fosil (kayu bakar). Gas SO2 mengakibatkan iritasi mata dan CO2 mengakibatkan sesak napas,” ujarnya.

Ia mengatakan jangka pendek efek asap pembakaran dapat menurunkan daya tahan paru-paru, dan jangka panjang dapat memicu kanker.

Katagori limbah medis padat seperti limbah infeksius terdiri atas bekas balutan, spesimen laboratorium, jaringan busuk. Limbah tajam seperti peralatan gelas yakni thermometer, jarum suntik dan alat suntik. Limbah plastik seperti bekas kemasan obat dan barang, spuit sekali pakai. Ada juga limbah kimia, obat-obatan, radioaktif, dan dapur. Limbah cair seperti air cucian perabotan dapur,bahan makanan, cucian pakaian, darah, dan cairan infus. “Limbah tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya,” katanya.

Saat ini, katanya, limbah medis cair sudah ditangani melalui Instalasi Pengendalian Air Limbah (IPAL) di masing-masing rumah sakit. Hanya saja, Darwata menilai penanganan limbah padat medis dengan proses pembakaran masih menyisakan masalah.

Pencucian Batik dan Sablon
Selain limbah medis, kata dokter Darwata, sektor sandang seperti pencucian batik dan sablon yang memakai warna sistetis dapat mengakibatkan pencemaran karena proses pencucian memerlukan air sebagai mediumnya dalam jumlah besar. “Proses ini mengakibatkan air limbah yang besar mengandung sisa warna kimia, kadar minyak dan mengandung limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Jika dialirkan ke sungai menimbulkan gangguan pencernaan, sakit kulit, dan gangguan organ tubuh lainnya,” ujarnya.

Ia menyayangkan industri rumahtangga seperti pembuatan tempe tahu menyalurkan limbahnya ke sungai. Sisa air tahu yang menggumpal, akan mengalami perubahan fisika, kimia dan hayati yang menciptakan tumbuhnya kuman penyakit.

Menurutnya bila dibiarkan dalam air limbah, akan berubah warna dan berbau busuk. “Bau ini dapat mengakibatkan gangguan saluran pernapasan. Jika limbah dialirkan ke sungai akan mencemari sungai dapat menimbulkan penyakit kulit, gatal dan diare,” ujarnya.

Menurut Kepala Bidang Kesehatan Lingkungan IKM Utami Dwipayanti, S.T., M.Bev. air laut adalah suatu komponen yang berinteraksi dengan lingkungan daratan dimana buangan limbah dari daratan akan bermuara di laut.
Selain itu, air laut juga sebagai penerima polutan yang jatuh dari atmosfir. Limbah tersebut yang mengandung polutan masuk ke dalam ekosistem perairan, sebagian larut dalam air, sebagian tenggelam ke dasar laut dan sebagian masuk ke jaringan tubuh organisme laut termasuk ikan, kerang, udang lainnya.

“Bila makanan laut atau sea food yang tercemar ini dimakan manusia akan berbahaya bagi kesehatan. Makanan yang tercemar logam berat mempunyai daya racun tinggi yang mengakibatkan kematian. Seperti kasus penyakit Minamata yang terjadi di Jepang,” ujar Utami.

Tamatan University of New South Wales Sydney tahun 2005 ini mengatakan penyakit Minamata ini terjadi akibat akumulasi logam berat merkuri dalam tubuhnya karena mengnsumsi ikan dan hewan laut yang berasal dari teluk Minamata yang tercemar merkuri limbah industri PI Chisso. Mereka mengalami gejala kerusakan otak, gangguan bicara dan hilangnya keseimbangan tidak dapat berjalan.

“Pencemaran logam berat tidak mengenal ambang batas karena jika sudah masuk ke tubuh manusia dia bersifat akumulatif dan tertimbun. Logam berat yang terakumulasi dalam tubuh manusia dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tubuh, menimbulkan cacar fisik, melemahkan sistem saraf. Bagi ibu hamil, pencemaran logam berat sangat berbahaya bukan saja merusak kesehatan ibunya, tapi kesehatan dan pertumbuhan bayinya juga terganggu.
Ia menyebutkan industri yang memberikan limbah buangan merkuri seperti pabrik tinta, pertambangan, pabrik kimia, pabrik kertas, penyamakan kulit, tekstil, farmasi.

Ia mengatakan risiko tinggi yang berpotensi terkena masyarakat yang mengonsumsi ikan yang berasal dari daerah perairan yang tercemar mercuri.
Pada industri pertambangan emas memerlukan bahan merkuri atau air raksa yang akan menghasilkan limbah logam berat cair. Hal ini kata Utami, dapat memicu keracunan saraf dan merupakan bahan teratogenik.

Selain itu, timbal (Pb) sumber emisi dari pabrik plastik, percetakan, pabrik baterai, kendaran bermotor, dan cat, juga termasuk logam berat yang berbahaya. Ia mengatakan sekali masuk ke tubuh akan masuk ke darah, sumsum tulang, liver, otak, tulang dan gigi. Efeknya gangguan ginjal kronis.

Khromium (Cr) adalah metal kelabu keras. CR didapat pada industri gelas, metal, fotografi. Khromium sendiri sebetulnya tidak toksin, tapi senyawanya yang dihasilkan dapat menimbulkan luka pada kulit dan selaput lendir, dan kerusakan pada tulang hidung. Dalam paru-paru menimbulkan kanker. —ast


Air Limbah dapat Dipakai Lagi

AIR Limbah hasil industri khususnya sablon bisa kembali digunakan untuk proses penyablonan. Namun, hal itu harus melalui beberapa tahap penyaringan, seperti yang dilakukan UD Murni Batik. Bagaimana sistem kerjanya?

Kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh pengusaha sablon banyak terjadi di wilayah Denpasar Barat dan Denpasar Selatan. Bulan Oktober 2007, Pemda membuat pilot project dengan memberikan bantuan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) kepada UD Murni Batik yang berlokasi di jalan Pulau Batanta Gang IV Nomor 7 Denpasar.

Bagi pemiliknya Sukandar (53), batik memang sudah melekat pada dirinya sejak masih kanak-kanak. Kakeknya adalah seorang pembatik. Ketika menginjak remaja, berbekal pengetahuan dari sang kakek, Sukandar mulai membuat stamp batik dan menawarkannya ke beberapa perusahaan. Usaha kecilnya ini tak banyak mendapat respon. Ia merasa masih perlu menempa ilmu lagi. Tahun 1976, pria asal Solo ini kembali belajar membuat batik di kota kelahirannya. Merantau ke Jakarta menjadi pedagang kaki lima pernah pula dilakoninya.

Karena tak membuahkan hasil, ia kembali ke Solo. Tahun 1993 atas kesepakatan istri yang dinikahinya tahun 1974, ia dan keluarganya memutuskan mencoba peruntungan di Bali. ”Tahun 1993 itu saya masih membuat stamp batik. Tahun 1999 baru mulai membuat sablon,” ungkapnya.

Saat ini Sukandar mempekerjakan 10 orang pegawai. Bahkan saat order banyak, bisa sampai 40 orang. Dari hasil usahanya itu Sukandar mampu membeli tanah seluas 10 are yang kini dipakainya sebagai tempat usaha penyablonan.
Sukandar mengatakan bantuan Pemda yang baru rampung itu, sejak dua minggu terakhir mulai dioperasikan.

Sebelum itu, UD Murni juga pernah mendapat bantuan pengolahan air limbah dari pihak Amerika yang kini sudah dialihkan ke pengusaha lain. Namun jauh sebelum mendapatkan dua bantuan tadi, Sukandar telah memiliki bak penampungan limbah hasil usahanya.

Bak itu disekat menjadi empat kotak yang masing-masing berukuran 2 x 1,5 dengan kedalaman 2 meter. Sebelum dialiri ke sungai, limbah itu diberi HCL, obat tawas, dan kaporit untuk menghilangkan warna. ”Air itu bersih dan aman. Sampel airnya saya masukkan ikan, dan ikannya tetap hidup,” katanya.

Meski mendapat bantuan IPAL dari Pemda, bak penampungannya yang dulu masih dipakainya. Hanya saja air limbah yang telah bersih, yang dulunya langsung dialiri ke sungai, sekarang kembali dimasukkan ke bak penampungan bantuan pemda itu.

Setelah diendapkan pada bak pertama, air limbah itu dialiri ke bak kedua yang berukuran 6 x 2 x 3 meter berisi pasir bercampur arang yang sudah dihancurkan. Bak ini ditutupi bahan fiber berwarna bening. ”Agar tidak kena air hujan tapi tetap bisa kena sinar matahari biar permukaannya kering,” jelas Sukandar yang sedikit memahami fungsi alat itu.

Di bak ini menurutnya terjadi proses penyaringan. Hasil serapan itu menjadi zat padat. Itu bisa dilihat pada permukaan pasir bercampur arang yang berwarna hijau kebiru-biruan. Tampak seperti lumut dan ditumbuhi tanaman-tanaman kecil. Sisa penyaringan pada bak kedua ini telah menghasilkan air bersih yang ditampung pada bak ketiga.

Sistem pengolahan limbah bantuan Amerika yang tinggal menyisakan bak penampungannya saja itu, masih tetap difungsikan oleh Iskandar. Air limbah yang sudah bersih tadi dialiri ke bak besar ini yang berukuran 8 x 2 meter dengan ketinggian 2 meter. Bak ini disekat-sekat menjadi empat ruang, dan proses penyaringannya memakai bahan ijuk. Air hasil penyaringannya, dipakai kembali untuk proses penyablonan. –ten

RS Aman, Warga Nyaman

I Made Toples berdiri di depan rumahnya. Ia memperhatikan air yang mengalir di got. Got itu dalamnya 1,5 meter. Air yang mengalir cukup deras. “Dulu got ini tidak dalam. Sejak ada RS Puri Bunda, got diperbaiki.

Senderan yang dulu batako diganti batu kali biar lebih kokoh. Airnya juga tidak pernah berhenti mengalir. Ini air resepan sawah yang sudah bercampur air buangan rumah tangga dan RS,” ujar pria yang tinggal di Selatan RS Puri Bunda ini.

Lancarnya aliran air ini membuat Toples tak perlu khawatir. Ia juga mengaku air yang mengalir tak pernah mengeluarkan bau tak sedap. “Mungkin karena lancar, tidak pernah ada bau yang menyengat. Kalau musim hujan saja air agak tinggi. Tetapi, tidak masalah juga. Alirannya lancar,” imbuh pria yang nyambi jualan bensin eceran ini.

Ketika ditanya mengenai air buangan dari RS Puri Bunda, Toples tak mempermasalahkan. Ia tidak takut adanya limbah RS. Setahunya, semua sudah diolah dan keluar sebagai air. Pihak RS menurutnya juga sudah memperhatikan masalah pembuangan. Buktinya, got yang dulu kecil sudah diperdalam dan disender. Bahkan, got di seberang rumah Toples semuanya disender dengan batu kali agar lebih kokoh dan aman.

Sriani, warga yang tinggal di depan RS Puri Bunda menyatakan hal senada dengan Toples. “Selama ini tidak pernah ada bau. Kami tidak pernah terganggu dengan air buangan. Malahan sejak ada RS Puri Bunda, lingkungan kami jadi lebih bersih. Aliran air di got lebih lancar karena got diperbesar,” ujar perempuan yang berjualan makanan ini.

Pihak RS Puri Bunda melalui Direktur Umum dan Keuangan Desak Agung Setiawati mengaku masalah limbah memang menjadi perhatian RS. “Kami tidak ingin ada complain dari warga mengenai limbah. Syukurlah berkat proses pengolahan limbah yang kami lakukan, tidak ada complain dari warga. RS aman, warga yang ada di lingkungan RS juga aman,” terangnya.

Bu Agung yang didampingi Supervisor Engineering I Gusti Ngurah Suwiherawan menambahkan, selain proses pengolahan yang berkali-kali, limbah juga sering diperiksakan di laboratorium. Dinas Kesehatan juga kerap melakukan sidak untuk mengetahui kondisi limbah di rumah sakit bersalin ini.

Ngurah memaparkan limbah RS terdiri dari limbah medis dan nonmedis. Masing-masing limbah ini terdiri dari limbah padat dan limbah cair. Untuk limbah padat medis, seperti bekas infus dan jarum suntik, pengolahan dilakukan di RS Sanglah. Setiap hari ada petugas yang datang mengambil. Volume rata-ratanya 3 kantong besar ukuran 5 kg. Volume ini bisa berubah tergantung jumlah pasien.

RS Puri Bunda telah menjalin kontrak dengan RS Sanglah untuk pengolahan limbah kesehatan ini karena alat pengolahan hanya ada di RS paling besar di Bali ini. Untuk limbah nonmedis, pihak Puri Bunda bekerja sama dengan pihak ketiga. Pihak ketiga inilah yang menyortir sampah kemudian membuangnya di TPA Suwung.
Khusus limbah medis cair seperti darah dan urine, Puri Bunda melakukan pengolahan sendiri.

Mereka memiliki sistem pengolahan yang sudah teruji dengan bioreaktor. Volume yang diolah rata-rata 8 kubik per hari. Polanya hampir mirip septic tank yang ada di rumah tangga, namun prosesnya lebih detail.

“Limbah cair masuk ke dalam bak peresapan dan penghancuran. Dari bak peresapan diangkat dengan pompa masuk bak penampungan lalu ke bak penyaringan. Selanjutnya masuk ke ruang pengurai yang dilengkapi dengan bakteri. Setelah melalui proses penguraian, yang keluar berupa air. Kami juga menambahkan kaporit sebelum air ini keluar,” jelas Ngurah.

Bu Agung menambahkan keluaran berupa air ini relatif aman karena Puri Bunda melayani persalinan yang tidak menghasilkan limbah yang membahayakan. Untuk lebih meyakinkan lagi, setiap hari pompa dan kaporit dicek sedangkan perawatan sistem dilakukan setiap enam bulan sekali. —wah




Limbah Medis Cair
Diolah Jadi Air Bersih


PEMBUANGAN limbah menjadi masalah lingkungan yang selalu hangat diperbincangkan. Tak hanya dalam lingkungan tempat tinggal, dalam lingkungan medis seperti rumah sakit, limbah kerap membuat pasien dan pengunjung merasa kurang nyaman. Untuk memberikan kenyamanan bagi pasien dan pengunjung, tahun ini RSUD Kabupaten Buleleng akan membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebagai tempat pengolahan limbah cair baik medis maupun nonmedis menjadi air bersih siap pakai.
Air bersih hasil pengolahan limbah cair baik medis maupun nonmedis akan digunakan untuk menyiram tanaman. Rencana pembangunan IPAL di RSUD Buleleng itu diungkap Direktur RSUD Kabupaten Buleleng, dr. Nyoman Mardhana, Sp.B. “Tahun ini, pengolahan limbah cair baik medis maupun nonmedis akan diolah secara canggih pada IPAL. Hasil dari proses ini berupa air bersih yang siap digunakan untuk menyiram tanaman,” jelas dr. Mardana.
Selama ini, limbah cair dan padat diolah secara alami menjadi pupuk organic. Khusus untuk limbah cair nonmedis, ditampung pada septitank di setiap unit ruangan rumah sakit. Selanjutnya setiap enam bulan sekali dilakukan penyedotan pada septitank oleh petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Pertamanan. “Proses ini biasanya dikeluhkan pasien dan pengunjung. Saat dilakukan penyedotan, bau yang dikeluarkan cukup menyengat dan menimbulkan suara bising. Untuk menghindari hal itu, mudah-mudahan IPAL tahun ini segera terelisasi demi kenyamanan penghuni rumah sakit,” terang dr. Mardana. Yang juga menjadi masalah selama ini yaitu kurangnya kesadaran pengunjung rumah sakit akan kebersihan dan kesehatan. “Masih ada yang membuang sampah sembarang di got sehingga menghambat proses lancarnya aliran air. Untuk menangani hal itu, petugas cleaning service terus dikerahkan. Kalau tak segera ditangani bahaya kalau musim hujan bisa terjadi banjir. Untungnya selokan-selokan dibuat dengan kemiringan tertentu sehingga tak ada air yang menggenang,” jelas dr. Mardana.
Limbah medis baik padat maupun cair diproses melalui pembakaran pada alat khusus yaitu Incenerator. Dalam suhu hingga 1000 derajat celcius, sampah medis padat seperti jarum suntik, implus, perban, selang dan beberapa perlengkapan medis padat lainnya dihanguskan menjadi debu.

Debu itu selanjutnya dibuang pada tempat khusus. “Karena debu hasil olahan limbah padat medis itu panas, tak baik digunakan langsung untuk pupuk tanaman. Tapi setelah tiga hari dapat digunakan bagi yang menginginkannya,” tambah dr. Mardana. Sedangkan sampah cair medis seperti, darah setelah operasi, dan cairan lainnya langsung lenyap dalam Incenerator.

Petugas Pelaksana Incenerator RSUD Buleleng, Gede Antara Jaya (33) menjelaskan, cara kerja alat pengolah limbah medis itu tidak menimbulkan kebisingan dan pencemaran bagi penghuni rumah sakit maupun warga sekitar. Meski mengeluarkan asap yang langsung dialirkan ke udara, Dinas Kesehatan Provinsi Bali menyatakan alat tersebut aman bagi bagi kesehatan dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.

Asap tersebut dialirkan ke udara melalui cerobong dengan ketinggian 12 meter. “Sebelumnya, memang ada keluhan dari warga sekitar, karena asap yang dikeluarkan mengepul ke rumah mereka. Namun setelah cerobong asap dibuat lebih tinggi, sampai sekarang tak ada keluhan,. Apalagi asap dan limbah hasil pengolahan alat ini sudah dinyatakan aman bagi kesehatan dan lingkungan,” jelas Antara. —put

0 komentar: